ekosistem:ekosistem_gambut

Differences

This shows you the differences between two versions of the page.

Link to this comparison view

Both sides previous revision Previous revision
Next revision
Previous revision
ekosistem:ekosistem_gambut [2022/10/31 02:54] Akbar Aksi Gemilangekosistem:ekosistem_gambut [2024/06/04 03:15] (current) Rabbirl Yarham Mahardika
Line 1: Line 1:
-{{tag>rintisan}} 
- 
 ====== Ekosistem Gambut ====== ====== Ekosistem Gambut ======
  
-Pemerintah Indonesia mendefinisikan ekosistem gambut sebagai tatanan unsur gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitasnya. Definisi ini kemudian diperkuat dengan penegasan batasan dan cakupan ekosistem gambut kedalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). KHG adalah ekosistem gambut yang letaknya di antara 2 (dua) sungai, di antara sungai dan laut dan/atau pada rawa (Pemerintah Indonesia, 2016). Batas KHG untuk ekosistem gambut di seluruh Indonesia kemudian ditentukan lewat surat keputusan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Definisi, cakupan serta penetapan batas KHG ini merupakan faktor kunci dalam melakukan proses perencanaan pengelolaan serta restorasi ekosistem gambut di Sumatera Selatan. Ekosistem [[:ekosistem:gambut|]] merupakan tatanan unsur gambut yang merupakan kesatuan menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, kestabilan, dan produktifitas. Ekosistem gambut terdiri dari tanah gambut, air dan vegetasi. Ekosistem gambut yang letaknya diantara dua sungai, di antara sungai dan laut, dan atau pada rawa dikenal sebagai Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG).+==== Ekosistem Gambut di Indonesia ====
  
-[[:ekosistem:tanah|Tanah]] dan air pada ekosistem gambut berwarna coklat kehitaman, walau begitu lahan gambut memiliki banyak sekali [[:kehidupan|]] Gambut menjadi tempat tinggal banyak sekali hewan dan tumbuhanbahkan beberapa dari mereka termasuk hewan dan tumbuhan yang unik dan dilindungi.[[:tumbuhan|Tumbuhan]] yang hidup dilahan gambut contohnya sagusukunpadi,[[:tumbuhan:nanas|]], gelam, meranti, pulai, jelutong, sungkai dan mengrisTumbuhan-tumbuhan tersebut juga menjadi sumber makanan bagi hewan yang hidup dilahan gambut seperti orang utan[[:satwa:kukang|]]berukcekongungko dan kelawatLahan gambut juga menjadi surga bagi hewan melata seperti buayalabi-labiular phytonular kobra, [[:satwa:ular_sawah|ular sawah]], tedung dan berbagai jenis katakSelain itu jenis burung juga banyak ditemukan pada lahan gambut seperti bangau tongtongelang bondolelang gular bido, alapalap capung, raja udang meninting dan kelompok burung madu.+Lahan gambut di Indonesia adalah tempat penyimpanan biodiversitas unik yang penting, mencegah intrusi air laut asin ke daerah pedalaman, dan memberikan efek pendinginan di sekitar area tersebut karena menyimpan air yang tinggi (Parish et al., 2012). Sebagian besar lahan gambut Indonesia tetap tidak termanfaatkan hingga akhir tahun 1960-ankarena sulit untuk diakses (Kobayashi2008)Mereka juga tetap tidak dimanfaatkan karena sifatnya yang rendah sebagai lahan pertanian produktifterutama karena kesuburan rendah dan kondisi jenuh air (Agus dan Subiksa2008). Namunsejak tahun 1970-anhutan rawa gambut telah dibuka melalui operasi penebangan di Sumatra dan Kalimantan (Kobayashi, 2008)Ketika gambut dikeringkan dan diberi pupukdapat mendukung pertumbuhan hampir semua jenis tanaman termasuk sayuranmakanan, dan tanaman perkebunan (Agus et al., 2012)mendukung mata pencaharian masyarakat lokal dan berkontribusi pada ekonomi nasional.
  
-Gambut sebagai salah satu ekosistem alami, memiliki berbagai [[:fungsi_ekosistem_gambut|fungsi gambut]].+Hutan rawa gambut juga memiliki fungsi ekosistem yang unik saat masih aslitetapi ini rentan dan dapat cepat terdegradasi melalui aktivitas manusia (Baccini et al., 2012). Peneliti telah menunjukkan bagaimana pembersihan lahan dan pengembangan jaringan drainase berkontribusi pada degradasi mereka (Page et al., 2011). Ada potensi dampak yang luas yang mungkin timbul dari pengembangan lahan gambut untuk pertanian dan ini termasuk penurunan tanah, banjir, kekurangan air dan polusi, kebakaran dan polusi udara, kehilangan habitat dan perubahan biodiversitas, serta perubahan kondisi sosial ekonomi. Tekanan untuk mempertahankan lahan gambut dalam banyak kasus sama kuatnya dengan untuk mengembangkannya untuk pertanian, pemukiman, dan pertambangan. Dilema yang dihadapi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya yang memiliki hutan rawa gambut adalah tekanan untuk memprioritaskan konservasi, sambil tidak mengabaikan kebutuhan masyarakat untuk menggunakan lahan gambut untuk pembangunan. Secara bersamaan, waktu, penggunaan yang tidak terkontrol, dan praktik pengelolaan lahan gambut yang tidak bijaksana memunculkan risiko serius bagi masyarakat lokal, masyarakat umum, dan generasi mendatang.
  
-Ekosistem gambut Sumatera Selatan tersebar di 7 kabupaten kota, namun hampir separuhnya berada pada wilayah administrasi Kabupaten Ogan Komering Ilir, dengan luasan yaitu 1,03 juta hektar atau 49,28 % dari total area ekosistem gambut Sumatera Selatan. Kabupaten lain yang memiliki ekosistem gambut yang luas adalah Kabupaten Banyuasin (0,563 juta hektar atau 26,92% total ekosistem gambut Sumatera Selatan) dan Kabupaten Musi Banyuasin (0,359 juta hektar atau 17,16%).+---- 
 + 
 +==== Definisi Ekosistem Gambut berdasarkan Peraturan di Indonesia ==== 
 + 
 +Pemerintah Indonesia mendefinisikan ekosistem gambut sebagai tatanan unsur gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitasnya. Definisi ini kemudian diperkuat dengan penegasan batasan dan cakupan ekosistem gambut kedalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). KHG adalah ekosistem gambut yang letaknya di antara 2 (dua) sungai, di antara sungai dan laut dan/atau pada rawa (Pemerintah Indonesia, 2016). Batas KHG untuk ekosistem gambut di seluruh Indonesia kemudian ditentukan lewat surat keputusan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Definisi, cakupan serta penetapan batas KHG ini merupakan faktor kunci dalam melakukan proses perencanaan pengelolaan serta restorasi ekosistem gambut di Sumatera Selatan. Ekosistem gambut merupakan tatanan unsur gambut yang merupakan kesatuan menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, kestabilan, dan produktifitas. Ekosistem gambut terdiri dari tanah gambut, air dan vegetasi. Ekosistem gambut yang letaknya diantara dua sungai, di antara sungai dan laut, dan atau pada rawa dikenal sebagai Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). 
 + 
 +[[.:tanah|Tanah]] dan air pada ekosistem gambut berwarna coklat kehitaman, walau begitu lahan gambut memiliki banyak sekali kehidupan Gambut menjadi tempat tinggal banyak sekali hewan dan tumbuhan, bahkan beberapa dari mereka termasuk hewan dan tumbuhan yang unik dan dilindungi.Tumbuhan yang hidup dilahan gambut contohnya sagu, sukun, padi,[[:tumbuhan:nanas|]], gelam, meranti, pulai, jelutong, sungkai dan mengris. Tumbuhan-tumbuhan tersebut juga menjadi sumber makanan bagi hewan yang hidup dilahan gambut seperti orang utan, kukang, beruk, cekong, ungko dan kelawat. Lahan gambut juga menjadi surga bagi hewan melata seperti buaya, labi-labi, ular phyton, ular kobra, [[:satwa:ular_sawah|ular sawah]], tedung dan berbagai jenis katak. Selain itu jenis burung juga banyak ditemukan pada lahan gambut seperti bangau tongtong, elang bondol, elang gular bido, alapalap capung, raja udang meninting dan kelompok burung madu. 
 + 
 +Gambut sebagai salah satu ekosistem alami, memiliki berbagai [[:fungsi_ekosistem_gambut|fungsi gambut]]. Ekosistem gambut Sumatera Selatan tersebar di 7 kabupaten kota, namun hampir separuhnya berada pada wilayah administrasi Kabupaten Ogan Komering Ilir, dengan luasan yaitu 1,03 juta hektar atau 49,28 % dari total area ekosistem gambut Sumatera Selatan. Kabupaten lain yang memiliki ekosistem gambut yang luas adalah Kabupaten Banyuasin (0,563 juta hektar atau 26,92% total ekosistem gambut Sumatera Selatan) dan Kabupaten Musi Banyuasin (0,359 juta hektar atau 17,16%).
  
 Sesuai dengan definisi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, ekosistem gambut adalah satu kesatuan utuh menyeluruh antara bentang lahan baik tanah bergambut maupun tanah mineral di dalamnya yang tidak dapat dipisahkan. Definisi ini cukup jelas memberikan arahan bahwa ekosistem gambut tidak hanya terbatas pada bentang lahan yang memiliki tanah gambut saja, namun juga bentang lahan dengan tanah mineral yang berada di sekitar lahan gambut. Lahan bergambut pada area KHG yang ada di Provinsi Sumatera Selatan saat ini adalah seluas 1,27 juta hektar atau 61% dari total luasan ekosistem gambut. Ketebalan gambut Sumatera Selatan terbagai kedalam 3 kelas yaitu 50-100 cm, 100-200 cm, dan 200-300 cm dengan kelas ketebalan gambut dominan adalah kelas 50-100 cm yang memiliki luasan 0,702 juta Ha atau 55,03%. Angka-angka luasan tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar tanah gambut di Sumatera Selatan adalah gambut dangkal. Sesuai dengan definisi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, ekosistem gambut adalah satu kesatuan utuh menyeluruh antara bentang lahan baik tanah bergambut maupun tanah mineral di dalamnya yang tidak dapat dipisahkan. Definisi ini cukup jelas memberikan arahan bahwa ekosistem gambut tidak hanya terbatas pada bentang lahan yang memiliki tanah gambut saja, namun juga bentang lahan dengan tanah mineral yang berada di sekitar lahan gambut. Lahan bergambut pada area KHG yang ada di Provinsi Sumatera Selatan saat ini adalah seluas 1,27 juta hektar atau 61% dari total luasan ekosistem gambut. Ketebalan gambut Sumatera Selatan terbagai kedalam 3 kelas yaitu 50-100 cm, 100-200 cm, dan 200-300 cm dengan kelas ketebalan gambut dominan adalah kelas 50-100 cm yang memiliki luasan 0,702 juta Ha atau 55,03%. Angka-angka luasan tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar tanah gambut di Sumatera Selatan adalah gambut dangkal.
  
-====== Ekosistem Alami Hutan Rawa dan Hutan Mangrove di Area KHG Sumatera Selatan ======+---- 
 + 
 +==== Ekosistem Alami Hutan Rawa dan Hutan Mangrove di Area KHG Sumatera Selatan ====
  
 Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2017, total area ekosistem alami hutan rawa dan hutan mangrove adalah seluas 0,389 juta Ha atau setara dengan 18,62% dari keseluruhan total area KHG Provinsi Sumatera Selatan. Hutan rawa sendiri memiliki luas total 0,333 Ha mencakup 36,.29 ribu Ha (10,91%) hutan rawa primer dan 0,297 juta Ha (89,09%) hutan rawa sekunder. Sedangkan, hutan mangrove secara total memiliki luasan 56,59 ribu Ha dengan rincian 26,39 ribu Ha (46,64%) hutan mangrove primer dan 30,2 ribu Ha (53,36%) merupakan hutan mangrove sekunder. Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2017, total area ekosistem alami hutan rawa dan hutan mangrove adalah seluas 0,389 juta Ha atau setara dengan 18,62% dari keseluruhan total area KHG Provinsi Sumatera Selatan. Hutan rawa sendiri memiliki luas total 0,333 Ha mencakup 36,.29 ribu Ha (10,91%) hutan rawa primer dan 0,297 juta Ha (89,09%) hutan rawa sekunder. Sedangkan, hutan mangrove secara total memiliki luasan 56,59 ribu Ha dengan rincian 26,39 ribu Ha (46,64%) hutan mangrove primer dan 30,2 ribu Ha (53,36%) merupakan hutan mangrove sekunder.
  
-{{:ekosistemalamikhgsumsel-2.png?nolink&350x77}}+{{  .:ekosistem_alami_khg_sumsel.png?nolink&600x132  }}
  
 Sebaran ekosistem alami hutan rawa dan hutan mangrove di area KHG Provinsi Sumatera Selatan melingkupi 5 (lima) kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Banyuasin, Muara Enim, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir, dan Penukal Abab Lematang Ilir dengan persebaran paling dominan berada di wilayah administrasi Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Banyuasin. Hampir seluruh area hutan rawa sekunder berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (84,52%). Berdasarkan variasi tipe ekosistemnya, Kabupaten Banyuasin memiliki persebaran yang merata antar kelasnya dengan didominasi hutan rawa sekunder. Grafik dibawah ini menunjukan sebaran ekosistem alami hutan rawa dan hutan mangrove berdasarkan wilayah administrasi kabupaten/kota. Sebaran ekosistem alami hutan rawa dan hutan mangrove di area KHG Provinsi Sumatera Selatan melingkupi 5 (lima) kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Banyuasin, Muara Enim, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir, dan Penukal Abab Lematang Ilir dengan persebaran paling dominan berada di wilayah administrasi Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Banyuasin. Hampir seluruh area hutan rawa sekunder berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (84,52%). Berdasarkan variasi tipe ekosistemnya, Kabupaten Banyuasin memiliki persebaran yang merata antar kelasnya dengan didominasi hutan rawa sekunder. Grafik dibawah ini menunjukan sebaran ekosistem alami hutan rawa dan hutan mangrove berdasarkan wilayah administrasi kabupaten/kota.
  
-{{:sebaranekosistemalamidikab-kotsumsel.png?nolink&350x184}}+{{  .:sebaran_ekosistem_alami_di_kabkot_sumsel.png?nolink&600x315  }} 
 + 
 +---- 
 + 
 +==== Pustaka ==== 
 + 
 +Parish, F., Lim, S. S., Perumal, B., & Giesen, W. (Eds.). (2012). RSPO Manual on Best Management Practices (BMPs) for management and rehabilitation of natural vegetation associated with oil palm cultivation on peat. Kuala Lumpur: RSPO. 
 + 
 +Agus, F., & Subiksa, I. G. M. (2008). Lahan gambut: Potensi untuk pertanian dan aspek lingkungan.[Peatland: farming potentials and environmental aspects]. Booklet. Bogor: Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF) SE Asia. 
 + 
 +Agus, F., Wahyunto, A., Dariah, E., Runtunuwu, E. S., & Supriatna, W. (2012). Emission reduction options for peatlands in the Kubu Raya and Pontianak Districts, West Kalimantan, Indonesia. Journal of Oil Palm Research, 24, 1378–1387. 
 + 
 +Baccini, A., Goetz, S. J., Walker, W. S., Laporte, N. T., Sun, M., Sulla-Menashe, D., Hackler, J., Beck, P. S. A., Dubayah, R., Friedl, M. A., Samanta, S., & Houghton, R. A. (2012). Estimated carbon dioxide emissions from tropical deforestation improved by carbon-density maps. Nature Climate Change 2, 182–185. doi:[[https://doi.org/10.1038/nclimate1354|https://doi.org/10.1038/nclimate1354]], ISSN: 1758-678X. 
 + 
 +Kobayashi, N. (2008). Sustainable peatland management: Socio-economic and environmental aspect. Paper presented at international symposium “Sentinel earth: Detection of Environmental Change,” at Hokkaido University, Sapporo, July 5–7. 
 + 
 +Page, S., Morrison, E. R., Malins, C., Hooijer, A., Rieley, J. O., & Jauhiainen, J. (2011). Review of peat surface greenhouse gas emissions from oil palm plantations in Southeast Asia. Washington, DC: International Council on Clean Transportation.
  
  
  • ekosistem/ekosistem_gambut.1667184873.txt.gz
  • Last modified: 2023/01/17 22:52
  • (external edit)