Differences
This shows you the differences between two versions of the page.
Both sides previous revision Previous revision Next revision | Previous revision | ||
ekosistem:ekosistem_gambut [2023/07/29 03:56] – Renaldi Sastra Kusumah Aji | ekosistem:ekosistem_gambut [2024/06/04 03:15] (current) – Rabbirl Yarham Mahardika | ||
---|---|---|---|
Line 1: | Line 1: | ||
====== Ekosistem Gambut ====== | ====== Ekosistem Gambut ====== | ||
+ | |||
+ | ==== Ekosistem Gambut di Indonesia ==== | ||
+ | |||
+ | Lahan gambut di Indonesia adalah tempat penyimpanan biodiversitas unik yang penting, mencegah intrusi air laut asin ke daerah pedalaman, dan memberikan efek pendinginan di sekitar area tersebut karena menyimpan air yang tinggi (Parish et al., 2012). Sebagian besar lahan gambut Indonesia tetap tidak termanfaatkan hingga akhir tahun 1960-an, karena sulit untuk diakses (Kobayashi, 2008). Mereka juga tetap tidak dimanfaatkan karena sifatnya yang rendah sebagai lahan pertanian produktif, terutama karena kesuburan rendah dan kondisi jenuh air (Agus dan Subiksa, 2008). Namun, sejak tahun 1970-an, hutan rawa gambut telah dibuka melalui operasi penebangan di Sumatra dan Kalimantan (Kobayashi, 2008). Ketika gambut dikeringkan dan diberi pupuk, dapat mendukung pertumbuhan hampir semua jenis tanaman termasuk sayuran, makanan, dan tanaman perkebunan (Agus et al., 2012), mendukung mata pencaharian masyarakat lokal dan berkontribusi pada ekonomi nasional. | ||
+ | |||
+ | Hutan rawa gambut juga memiliki fungsi ekosistem yang unik saat masih asli, tetapi ini rentan dan dapat cepat terdegradasi melalui aktivitas manusia (Baccini et al., 2012). Peneliti telah menunjukkan bagaimana pembersihan lahan dan pengembangan jaringan drainase berkontribusi pada degradasi mereka (Page et al., 2011). Ada potensi dampak yang luas yang mungkin timbul dari pengembangan lahan gambut untuk pertanian dan ini termasuk penurunan tanah, banjir, kekurangan air dan polusi, kebakaran dan polusi udara, kehilangan habitat dan perubahan biodiversitas, | ||
+ | |||
+ | ---- | ||
+ | |||
+ | ==== Definisi Ekosistem Gambut berdasarkan Peraturan di Indonesia ==== | ||
Pemerintah Indonesia mendefinisikan ekosistem gambut sebagai tatanan unsur gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, | Pemerintah Indonesia mendefinisikan ekosistem gambut sebagai tatanan unsur gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, | ||
Line 5: | Line 15: | ||
[[.: | [[.: | ||
- | Gambut sebagai salah satu ekosistem alami, memiliki berbagai [[: | + | Gambut sebagai salah satu ekosistem alami, memiliki berbagai [[: |
- | + | ||
- | Ekosistem gambut Sumatera Selatan tersebar di 7 kabupaten kota, namun hampir separuhnya berada pada wilayah administrasi Kabupaten Ogan Komering Ilir, dengan luasan yaitu 1,03 juta hektar atau 49,28 % dari total area ekosistem gambut Sumatera Selatan. Kabupaten lain yang memiliki ekosistem gambut yang luas adalah Kabupaten Banyuasin (0,563 juta hektar atau 26,92% total ekosistem gambut Sumatera Selatan) dan Kabupaten Musi Banyuasin (0,359 juta hektar atau 17,16%). | + | |
Sesuai dengan definisi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, ekosistem gambut adalah satu kesatuan utuh menyeluruh antara bentang lahan baik tanah bergambut maupun tanah mineral di dalamnya yang tidak dapat dipisahkan. Definisi ini cukup jelas memberikan arahan bahwa ekosistem gambut tidak hanya terbatas pada bentang lahan yang memiliki tanah gambut saja, namun juga bentang lahan dengan tanah mineral yang berada di sekitar lahan gambut. Lahan bergambut pada area KHG yang ada di Provinsi Sumatera Selatan saat ini adalah seluas 1,27 juta hektar atau 61% dari total luasan ekosistem gambut. Ketebalan gambut Sumatera Selatan terbagai kedalam 3 kelas yaitu 50-100 cm, 100-200 cm, dan 200-300 cm dengan kelas ketebalan gambut dominan adalah kelas 50-100 cm yang memiliki luasan 0,702 juta Ha atau 55,03%. Angka-angka luasan tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar tanah gambut di Sumatera Selatan adalah gambut dangkal. | Sesuai dengan definisi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, ekosistem gambut adalah satu kesatuan utuh menyeluruh antara bentang lahan baik tanah bergambut maupun tanah mineral di dalamnya yang tidak dapat dipisahkan. Definisi ini cukup jelas memberikan arahan bahwa ekosistem gambut tidak hanya terbatas pada bentang lahan yang memiliki tanah gambut saja, namun juga bentang lahan dengan tanah mineral yang berada di sekitar lahan gambut. Lahan bergambut pada area KHG yang ada di Provinsi Sumatera Selatan saat ini adalah seluas 1,27 juta hektar atau 61% dari total luasan ekosistem gambut. Ketebalan gambut Sumatera Selatan terbagai kedalam 3 kelas yaitu 50-100 cm, 100-200 cm, dan 200-300 cm dengan kelas ketebalan gambut dominan adalah kelas 50-100 cm yang memiliki luasan 0,702 juta Ha atau 55,03%. Angka-angka luasan tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar tanah gambut di Sumatera Selatan adalah gambut dangkal. | ||
- | ===== Ekosistem Alami Hutan Rawa dan Hutan Mangrove di Area KHG Sumatera Selatan | + | ---- |
+ | |||
+ | ==== Ekosistem Alami Hutan Rawa dan Hutan Mangrove di Area KHG Sumatera Selatan ==== | ||
Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2017, total area ekosistem alami hutan rawa dan hutan mangrove adalah seluas 0,389 juta Ha atau setara dengan 18,62% dari keseluruhan total area KHG Provinsi Sumatera Selatan. Hutan rawa sendiri memiliki luas total 0,333 Ha mencakup 36,.29 ribu Ha (10,91%) hutan rawa primer dan 0,297 juta Ha (89,09%) hutan rawa sekunder. Sedangkan, hutan mangrove secara total memiliki luasan 56,59 ribu Ha dengan rincian 26,39 ribu Ha (46,64%) hutan mangrove primer dan 30,2 ribu Ha (53,36%) merupakan hutan mangrove sekunder. | Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2017, total area ekosistem alami hutan rawa dan hutan mangrove adalah seluas 0,389 juta Ha atau setara dengan 18,62% dari keseluruhan total area KHG Provinsi Sumatera Selatan. Hutan rawa sendiri memiliki luas total 0,333 Ha mencakup 36,.29 ribu Ha (10,91%) hutan rawa primer dan 0,297 juta Ha (89,09%) hutan rawa sekunder. Sedangkan, hutan mangrove secara total memiliki luasan 56,59 ribu Ha dengan rincian 26,39 ribu Ha (46,64%) hutan mangrove primer dan 30,2 ribu Ha (53,36%) merupakan hutan mangrove sekunder. | ||
- | {{.: | + | {{ .: |
Sebaran ekosistem alami hutan rawa dan hutan mangrove di area KHG Provinsi Sumatera Selatan melingkupi 5 (lima) kabupaten/ | Sebaran ekosistem alami hutan rawa dan hutan mangrove di area KHG Provinsi Sumatera Selatan melingkupi 5 (lima) kabupaten/ | ||
Line 21: | Line 31: | ||
{{ .: | {{ .: | ||
- | {{youtube> | + | ---- |
+ | |||
+ | ==== Pustaka ==== | ||
+ | |||
+ | Parish, F., Lim, S. S., Perumal, B., & Giesen, W. (Eds.). (2012). RSPO Manual on Best Management Practices (BMPs) for management and rehabilitation of natural vegetation associated with oil palm cultivation on peat. Kuala Lumpur: RSPO. | ||
+ | |||
+ | Agus, F., & Subiksa, I. G. M. (2008). Lahan gambut: Potensi untuk pertanian dan aspek lingkungan.[Peatland: | ||
+ | |||
+ | Agus, F., Wahyunto, A., Dariah, E., Runtunuwu, E. S., & Supriatna, W. (2012). Emission reduction options for peatlands in the Kubu Raya and Pontianak Districts, West Kalimantan, Indonesia. Journal of Oil Palm Research, 24, 1378–1387. | ||
+ | |||
+ | Baccini, A., Goetz, S. J., Walker, W. S., Laporte, N. T., Sun, M., Sulla-Menashe, | ||
+ | |||
+ | Kobayashi, N. (2008). Sustainable peatland management: Socio-economic and environmental aspect. Paper presented at international symposium “Sentinel earth: Detection of Environmental Change,” at Hokkaido University, Sapporo, July 5–7. | ||
- | {{tag> | + | Page, S., Morrison, E. R., Malins, C., Hooijer, A., Rieley, J. O., & Jauhiainen, J. (2011). Review of peat surface greenhouse gas emissions from oil palm plantations in Southeast Asia. Washington, DC: International Council on Clean Transportation. |