Differences
This shows you the differences between two versions of the page.
| Both sides previous revision Previous revision | |||
| ekosistem:mitigasi_perubahan_iklim_di_lahan_gambut [2025/07/16 06:18] – [Kebijakan & Komitmen Global] Jihan Sarotama | ekosistem:mitigasi_perubahan_iklim_di_lahan_gambut [Unknown date] (current) – removed - external edit (Unknown date) 127.0.0.1 | ||
|---|---|---|---|
| Line 1: | Line 1: | ||
| - | ====== Mitigasi Perubahan Iklim di Lahan Gambut ====== | ||
| - | Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem basah paling penting di dunia karena kemampuannya yang luar biasa dalam menyimpan karbon organik. Meskipun hanya mencakup sekitar 3% dari total luas daratan global, lahan gambut menyimpan hingga 30% cadangan karbon tanah dunia, menjadikannya gudang karbon terestrial terbesar di planet ini bahkan melebihi total karbon yang tersimpan di seluruh hutan dunia. | ||
| - | |||
| - | Di Indonesia sendiri, cadangan karbon gambut diperkirakan mencapai ~34 gigaton karbon (GtC), setara dengan ~125 GtCO₂-eq, menjadikannya aset strategis dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Dalam kondisi alaminya yang jenuh air, gambut memperlambat dekomposisi bahan organik, sehingga karbon yang diserap tumbuhan dari atmosfer dapat terperangkap selama ribuan tahun. | ||
| - | |||
| - | Namun, ketika lahan gambut dikeringkan, | ||
| - | |||
| - | ===== Cadangan Karbon Gambut ===== | ||
| - | |||
| - | Lahan gambut merupakan ekosistem basah yang sangat kaya karbon, meskipun hanya mencakup sekitar 3% dari luas daratan dunia, namun menyimpan sekitar 30% cadangan karbon tanah global, menjadikannya penyimpan karbon terestrial terbesar di planet ini (IUCN, 2020). Total cadangan karbon gambut global diperkirakan mencapai ~550–600 GtC, dan sekitar 57 GtC di antaranya tersimpan di kawasan tropis, termasuk Indonesia (Leifeld & Menichetti, 2018). Karbon dalam gambut tersimpan dalam bentuk bahan organik yang terakumulasi secara anaerobik, yakni dalam kondisi jenuh air dan minim oksigen yang memperlambat proses dekomposisi dan memungkinkan karbon terperangkap selama ribuan tahun. Berbeda dengan tanah mineral, yang memiliki kandungan karbon lebih rendah dan proses dekomposisi lebih cepat karena kondisi aerobik, gambut menyimpan karbon dalam bentuk humus dan serat tanaman yang belum terurai sempurna, menjadikannya lebih stabil namun juga lebih rentan jika terganggu. | ||
| - | |||
| - | Ketika lahan gambut dikeringkan untuk pertanian atau pembangunan, | ||
| - | |||
| - | Kebakaran ini bersifat bawah-permukaan (// | ||
| - | ===== Fungsi Mikroklimatis ===== | ||
| - | |||
| - | Lahan gambut yang sehat memainkan peran penting dalam mengatur iklim mikro di sekitarnya melalui mekanisme evaporasi air tanah dan transpirasi vegetasi yang menciptakan efek pendinginan alami. Ketika permukaan gambut jenuh air dan tertutup vegetasi seperti pohon rawa dan tumbuhan bawah, proses penguapan air dari permukaan dan daun menghasilkan penurunan suhu lokal serta peningkatan kelembapan udara. Selain itu, naungan dari kanopi vegetasi mengurangi radiasi matahari langsung ke permukaan tanah, menjaga suhu tetap stabil dan mencegah pengeringan berlebih. Studi di berbagai wilayah menunjukkan bahwa kawasan gambut yang utuh memiliki suhu udara dan suhu permukaan tanah yang lebih rendah dibandingkan lahan terbuka atau gambut yang telah dikeringkan (Słowińska et al., 2022; Ludang et al., 2007). | ||
| - | |||
| - | Sebaliknya, ketika fungsi hidrologis gambut terganggu akibat drainase, pembukaan lahan, atau kebakaran, permukaan tanah menjadi lebih kering dan kehilangan kapasitasnya untuk menyimpan serta menguapkan air. Hal ini menyebabkan kenaikan suhu lokal, memperpanjang musim kering, dan meningkatkan kerentanan terhadap kebakaran lahan yang lebih intens dan sulit dikendalikan. Penurunan muka air tanah juga mempercepat dekomposisi bahan organik dan memperburuk siklus umpan balik iklim yang merugikan (Taufik et al., 2022; Speranskaya et al., 2024). | ||
| - | |||
| - | ===== Strategi Mitigasi ===== | ||
| - | |||
| - | Restorasi ekosistem gambut merupakan strategi mitigasi perubahan iklim yang sangat efektif karena mampu mengembalikan fungsi alami gambut sebagai penyerap karbon aktif (//carbon sink//). Dua pendekatan utama dalam restorasi adalah rewetting dan revegetasi. Rewetting dilakukan dengan cara menyumbat kanal-kanal drainase untuk menaikkan kembali muka air tanah, sehingga kondisi anaerobik (minim oksigen) dapat dipulihkan. Kondisi ini memperlambat dekomposisi bahan organik dan secara signifikan menurunkan emisi karbon dioksida (CO₂). \\ | ||
| - | \\ | ||
| - | Sementara itu, revegetasi melibatkan penanaman kembali spesies tumbuhan khas gambut seperti jelutung (//Dyera spp//.), gelam (// | ||
| - | ===== Kebijakan & Komitmen Global ===== | ||
| - | |||
| - | Dalam komitmennya terhadap //Paris Agreement//, | ||
| - | \\ | ||
| - | Hingga akhir 2024, BRGM telah merehabilitasi lebih dari 1,6 juta hektar lahan gambut dan membangun ribuan infrastruktur pembasahan. Sementara itu, KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) memainkan peran regulatif dan teknis, termasuk dalam pemantauan emisi dari sektor LULUCF serta integrasi restorasi dalam kebijakan NDC nasional. Untuk mendukung transparansi dan efektivitas, | ||
| - | |||
| - | |||
| - | ===== Pustaka ===== | ||
| - | |||
| - | IUCN. (n.d.). Peatlands and climate change. Retrieved July 9, 2025, from https:// | ||
| - | \\ | ||
| - | Strack, M., Davidson, S. J., Hirano, T., & Dunn, C. (2022). The potential of peatlands as nature-based climate solutions. Current Climate Change Reports, 8, 71–82. https:// | ||
| - | \\ | ||
| - | YKAN. (2024). Peatland conservation. Retrieved from https:// | ||
| - | |||
| - | Leifeld, J., & Menichetti, L. (2018). The underappreciated potential of peatlands in global climate change mitigation strategies. Nature Communications, | ||
| - | \\ | ||
| - | Page, S. E., Siegert, F., Rieley, J. O., Boehm, H. D. V., Jaya, A., & Limin, S. (2002). The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature, 420(6911), 61–65. https:// | ||
| - | \\ | ||
| - | CIFOR-ICRAF. (2024). ASEAN’s regional efforts to combat peatland degradation in Southeast Asia. Retrieved from https:// | ||
| - | \\ | ||
| - | Ludang, Y., Jaya, A., & Inoue, T. (2007). Microclimate conditions of the developed peatland in Central Kalimantan. Journal of Applied Sciences, 7(18), 2604–2609. https:// | ||
| - | \\ | ||
| - | Słowińska, | ||
| - | \\ | ||
| - | Speranskaya, | ||
| - | \\ | ||
| - | Taufik, M., Widyastuti, M. T., Sulaiman, A., & Minasny, B. (2022). An improved drought-fire assessment for managing fire risks in tropical peatlands. Agricultural and Forest Meteorology, | ||
| - | \\ | ||
| - | Hooijer, A., Page, S., Canadell, J. G., Silvius, M., Kwadijk, J., Wösten, H., & Jauhiainen, J. (2010). Current and future CO₂ emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences, | ||
| - | \\ | ||
| - | Ramsar Convention. (2021). Global guidelines for peatland rewetting and restoration. Ramsar Technical Report No. 11. Retrieved from Ramsar website\\ | ||
| - | \\ | ||
| - | Darusman, T., Murdiyarso, D., Impron, & Anas, I. (2023). Effect of rewetting degraded peatlands on carbon fluxes: a meta-analysis. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, 28(10). https:// | ||