Table of Contents

Kerusakan Gambut

lahan_gambut.jpeg

Kerusakan yang luas karena terjadinya perubahan hidrologi hutan rawa gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut

<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>

Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany…
akibat pembangunan drainase yang sangat masif sehingga lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut

Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm
menjadi sangat rentan terhadap kebakaran, yang disebabkan oleh alam dan perbuatan manusia. Kerusakan yang terjadi berakibat pada hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi tanah, meningkatnya ketidakseimbangan hidrologi dan pada akhirnya akan berdampak pada berkurangnya air yang tersedia di kawasan tersebut, perubahan siklus karbon dan pemanasan global. Mempelajari karakteristik gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut

<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>

Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany…
yang telah terganggu akan menjadi dasar untuk mengelola gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut

<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>

Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany…
agar dapat dipulihkan, dan salah satu yang utama adalah mempelajari keanekaragaman vegetasinya. Memahami keanekaragaman dapat dilakukan melalui pengklasifikasian vegetasi dan hal tersebut merupakan indikator yang kuat untuk mencerminkan kondisi lingkungan. Kerusakan semua bentuk ekosistem termasuk ekosistem hutan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut

<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>

Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany…
akan membentuk gradasi pada ekosistem tersebut. Pemulihan ekosistem akan mengikuti gradasi yang terjadi sehingga mencapai pada ekosistem klimaks. Untuk dapat merumuskan proses perbaikan ekosistem yang telah rusak ini diperlukan data dan informasi mengenai kondisi ekosistem hutan tersebut atau bagaimana gambaran karakteristik ekosistem hutan yang telah rusak tadi. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari indikator-indikator yang terdiri dari keanekaragaman jenis (diversity), struktur komunitas, dan dominansi jenis. Karakteristik yang terbentuk tersebut dalam perkembangannya akan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan ekosistem hutan, baik kondisi iklim mikro maupun kondisi tanahnya.

Sangat disayangkan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut

<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>

Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany…
di Indonesia banyak mengalami kerusakan, kerusakan yang terjadi pada ekosistem gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigEkosistem Gambut

Ekosistem Gambut di Indonesia

Lahan gambut di Indonesia adalah tempat penyimpanan biodiversitas unik yang penting, mencegah intrusi air laut asin ke daerah pedalaman, dan memberikan efek pendinginan di sekitar area tersebut karena menyimpan air yang tinggi (Parish et al., 2012). Sebagian besar
diakibatkan karena Anggapan bahwa gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut

<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>

Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany…
merupakan lahan tidak berguna merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan dan lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut

Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm
. Karena dianggap tidak berguna, lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut

Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm
sering dialihfungsikan baik menjadi lahan pertanian, perkebunan, pemukiman, dan lainnya. Namun, lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut

Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm
yang akan digunakan harus dikeringkan terlebih dahulu dengan membuat kanal atau saluran air sehingga membuat lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut

Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm
terdegradasi. Lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut

Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm
yang dikeringkan dan dialihfungsikan menjadi penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut

Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm
. Hal ini berakibat pada kehidupan ekosistem gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigEkosistem Gambut

Ekosistem Gambut di Indonesia

Lahan gambut di Indonesia adalah tempat penyimpanan biodiversitas unik yang penting, mencegah intrusi air laut asin ke daerah pedalaman, dan memberikan efek pendinginan di sekitar area tersebut karena menyimpan air yang tinggi (Parish et al., 2012). Sebagian besar
lainnya.


Kerusakan Ekosistem Gambut Sumatera Selatan

Dampak Lingkungan

Beberapa peristiwa pembangunan dengan kurang mempertimbangkan perencanaan hijau maupun lemahnya manajemen lahan telah banyak menimbulkan kerugian dari aspek ekologi. Dampak perubahan kondisi lingkungan akibat perubahan alih fungsi lahan mengakibatkan bencana banjir, kebakaran, menurunnya kualitas air, sedimentasi, berkurangnya debit air dan turunnya kualitas habitat sebagai tempat tinggal makhluk hidup. Salah satu pangkal dari beberapa isu yang sedang diperbincangkan global adalah mengenai perubahan iklim. Salah satu analisis yang cukup banyak dilakukan dalam penelitian adalah mengetahui pengurangan cadangan karbon (emisi) dari perubahan tutupan lahan.


Kajian perubahan emisi dari tutupan lahan di area KHG Sumatera Selatan menggunakan data peta tutupan lahan tahun 1990, 2000, 2005, 2010, 2014, 2017, peta administratif kabupaten di Sumatera Selatan dan peta unit perencanaan yang merupakan kombinasi antara peta FEG dengan fungsi pola ruang. Adapun analisis dilakukan dalam 5 periode (1990-2000, 2000-2005, 2005-2010, 2010-2014 dan 2014-2017). Area seluas 2,09 juta ha juga di analisis dengan mempertimbangkan cadangan karbon dari lahan mineral dan faktor emisi dari lahan gambut dengan unit analisis Fungsi Ekosistem Gambut (FEG) dan batas administratif kabupaten. Lahan gambut dari area KHG lebih besar dibandingkan lahan mineral, sekitar 65% adalah area gambut. Kondisi porsi lahan seperti ini mengakibatkan sumber emisi peat dari setiap periode waktu (1990-2017) selalu lebih besar dibandingkan lahan mineral. Pada periode 2014-2017 emisi bersih KHG Sumatera Selatan mencapai 193.2 MT CO2 -eq, sumber emisi sekitar 16% berasal dari mineral, 88% dari gambut dan 4% sisanya merupakan kemampuan sekuestrasi. Trend emisi Sumatera Selatan semakin menurun dari 1990 sampai 2017. Emisi bersih terbesar berada pada tahun 1990 dengan 246.4 MT CO2 -eq, sumbangan emisi mineral dengan gambut masih tetap besar gambut (27% mineral, 75% gambut dan 2% sekuestrasi). Penurunan jumlah pelepasan karbon dari tahun 1990 sampai 2017 merupakan hal positif, karena emisi yang ada semakin lama semakin turun. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan emisi seperti semakin peduli sumberdaya manusia terhadap isu lingkungan, munculnya kebijakan maupun perencanaan pembangunan yang mendukung pembangunan hijau (pro-lingkungan), sistem manajemen lahan yang semakin baik atau bisa jadi juga akibat ketersediaan lahan yang memang semakin sedikit sehingga memaksa Sumatera Selatan adaptasi dengan kondisi yang semakin menurun.
Kabupaten Banyuasin, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir (OKI), Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Muara Enim, Musi Rawas Utara dan Musi Rawas merupakan area yang masuk ke dalam KHG. Emisi bersih pada setiap Kabupaten dalam area KHG, pada tahun 2014-2017 OKI memiliki emisi bersih tertinggi dengan 111,91 MT CO2 -eq, disusul dengan Banyuasin (40,69 MT CO2 -eq) dan Musi Banyuasin (30,99 MT CO2 -eq).

Emisi secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi degradasi habitat yang kemudian akan memiliki peran dalam keberlangsungan keanekaragaman hayati suatu bentang lahan. Analisis keanekaragaman hayati dilakukan untuk mengetahui besaran peralihan tutupan lahan yang mengindikasikan perubahan luas dan konfigurasi tutupan alami di area KHG Sumatera Selatan. Peralihan tutupan lahan berkontribusi terhadap dinamika kondisi tutupan alami, selain itu informasi mengenai perubahan luas dan konfigurasi tutupan alami suatu daerah disajikan secara kuantitatif dalam indeks tunggal yang disebut Degree of Integration of Focal Area (DIFA). Kajian keanekaragaman hayati akan membantu pemangku kepentingan dalam mempertimbangan berbagai aspek sebagai analisis kebijakan pengelolaan lahan, khususnya dalam memperkirakan implikasi suatu keputusan terhadap kelestarian keanekaragaman hayati. Informasi administrasi kabupaten dan kombinasi FEG dengan fungsi pola ruang Provinsi Sumatera Selatan disertakan sebagai unit perencanaan untuk membantu proses dialog dan kolaborasi antar pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pengelolaan daerah yang memperhatikan kelestarian keanekaragaman hayati.


Dalam kajian analisis keanekaragaman hayati terdapat istilah area fokal, yaitu area kelas tutupan lahan yang mewakili habitat bagi keanekaragaman hayati asli dalam kondisi primer. Kelas tutupan lahan yang masuk dalam area fokal Sumatera selatan, yaitu hutan mangrove primer dan hutan rawa primer. Berdasarkan lokasi terjadinya konversi dari atau menjadi kelas tutupan area fokal hutan mangrove primer, diketahui bahwa Banyu Asin FEG Lindung - RTRWP Lindung Mineral adalah unit perencanaan dengan alih fungsi area fokal terbesar (13.052 hektar), sedangkan dengan area fokal hutan rawa primer diketahui bahwa Ogan Komering Ilir FEG Lindung - RTRWP Budidaya Gambut adalah unit perencanaan dengan alih fungsi area fokal terbesar (4.955 hektar).

Besarnya nilai DIFA dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: luas total, konfigurasi dan distribusi spasial area fokal pada titik waktu tertentu serta kontras area fokal dengan area di sekitarnya. Persentase total area fokal menentukan batas maksimal nilai DIFA pada suatu titik waktu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai DIFA yang tinggi berasosiasi dengan daerah berarea fokal luas dan terintegrasi. Pada tahun 2014 nilai indeks DIFA KHG Sumatera Selatan dengan fokal area hutan mangrove primer adalah sebesar 28,31% dan turun menjadi 14,59% di tahun 201, dalam periode 3 tahun. Sedangkan untuk hutan rawa primer sebesar 2,34% dan 1,37% di tahun 2017. Dari sudut pandang keanekaragaman hayati, trend yang ditemukan pada area KHG Sumatera Selatan menunjukkan peralihan tutupan lahan yang terjadi dalam skala besar, sehingga menyebabkan hilangnya luasan area fokal secara drastis, atau hilangnya habitat, dibanding sekedar adanya degradasi habiatat karena adanya fragmentasi.


Referensi :

Hooijer, Aljosja, et al. “Current and future CO 2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia.” Biogeosciences 7.5 (2010): 1505-1514.

Kimmins, J. P. Forest ecology: a foundation for sustainable management. No. Ed. 2. 1997.

Ordonez, Jenny C., et al. “Constraints and opportunities for tree diversity management along the forest transition curve to achieve multifunctional agriculture.” Current Opinion in Environmental Sustainability 6 (2014): 54-60.

Shimamura, Tetsuya, Kuniyasu Momose, and Shigeo Kobayashi. “A comparison of sites suitable for the seedling establishment of two co-occurring species, Swintonia glauca and Stemonurus scorpioides, in a tropical peat swamp forest.” Ecological Research 21 (2006): 759-767.

Wösten, J. H. M., et al. “Peat–water interrelationships in a tropical peatland ecosystem in Southeast Asia.” Catena 73.2 (2008): 212-224.