Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem basah paling penting di dunia karena kemampuannya yang luar biasa dalam menyimpan karbon organik. Meskipun hanya mencakup sekitar 3% dari total luas daratan global, lahan gambut menyimpan hingga 30% cadangan karbon tanah dunia, menjadikannya gudang karbon terestrial terbesar di planet ini bahkan melebihi total karbon yang tersimpan di seluruh hutan dunia.
Di Indonesia sendiri, cadangan karbon gambut diperkirakan mencapai ~34 gigaton karbon (GtC), setara dengan ~125 GtCO₂-eq, menjadikannya aset strategis dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Dalam kondisi alaminya yang jenuh air, gambut memperlambat dekomposisi bahan organik, sehingga karbon yang diserap tumbuhan dari atmosfer dapat terperangkap selama ribuan tahun.
Namun, ketika lahan gambut dikeringkan, dibakar, atau dikonversi untuk pertanian dan perkebunan, karbon yang tersimpan tersebut terlepas ke atmosfer dalam bentuk gas rumah kaca, terutama CO₂ dan N₂O. Bahkan, lahan gambut yang rusak menyumbang sekitar 5% dari total emisi CO₂ antropogenik global, meskipun hanya mencakup 0,3–0,4% dari luas daratan dunia. Perlindungan dan restorasi lahan gambut bukan hanya isu konservasi, tetapi merupakan strategi vital dalam mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca, termasuk komitmen Indonesia dalam FOLU Net Sink 2030 dan Perjanjian Paris.
Lahan gambut merupakan ekosistem basah yang sangat kaya karbon, meskipun hanya mencakup sekitar 3% dari luas daratan dunia, namun menyimpan sekitar 30% cadangan karbon tanah global, menjadikannya penyimpan karbon terestrial terbesar di planet ini (IUCN, 2020). Total cadangan karbon gambut global diperkirakan mencapai ~550–600 GtC, dan sekitar 57 GtC di antaranya tersimpan di kawasan tropis, termasuk Indonesia (Leifeld & Menichetti, 2018). Karbon dalam gambut tersimpan dalam bentuk bahan organik yang terakumulasi secara anaerobik, yakni dalam kondisi jenuh air dan minim oksigen yang memperlambat proses dekomposisi dan memungkinkan karbon terperangkap selama ribuan tahun. Berbeda dengan tanah mineral, yang memiliki kandungan karbon lebih rendah dan proses dekomposisi lebih cepat karena kondisi aerobik, gambut menyimpan karbon dalam bentuk humus dan serat tanaman yang belum terurai sempurna, menjadikannya lebih stabil namun juga lebih rentan jika terganggu.
Ketika lahan gambut dikeringkan untuk pertanian atau pembangunan, lapisan organik ini terekspos udara dan mengalami oksidasi cepat, melepaskan karbon dalam bentuk CO₂ dan N₂O. Jika terjadi kebakaran, emisi menjadi jauh lebih besar: pembakaran gambut dapat menghasilkan hingga ~427 ton karbon per hektar (tC/ha), jauh melebihi emisi dari kebakaran vegetasi biasa.
Kebakaran ini bersifat bawah-permukaan (smouldering), sulit dipadamkan, dan menghasilkan asap pekat yang berbahaya bagi kesehatan dan iklim. Secara global, lima negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Vietnam yang menyumbang lebih dari 90% emisi dari degradasi gambut tropis, terutama akibat drainase dan kebakaran (IUCN, 2020; CIFOR-ICRAF, 2024).
Lahan gambut yang sehat memainkan peran penting dalam mengatur iklim mikro di sekitarnya melalui mekanisme evaporasi air tanah dan transpirasi vegetasi yang menciptakan efek pendinginan alami. Ketika permukaan gambut jenuh air dan tertutup vegetasi seperti pohon rawa dan tumbuhan bawah, proses penguapan air dari permukaan dan daun menghasilkan penurunan suhu lokal serta peningkatan kelembapan udara. Selain itu, naungan dari kanopi vegetasi mengurangi radiasi matahari langsung ke permukaan tanah, menjaga suhu tetap stabil dan mencegah pengeringan berlebih. Studi di berbagai wilayah menunjukkan bahwa kawasan gambut yang utuh memiliki suhu udara dan suhu permukaan tanah yang lebih rendah dibandingkan lahan terbuka atau gambut yang telah dikeringkan (Słowińska et al., 2022; Ludang et al., 2007).
Sebaliknya, ketika fungsi hidrologis gambut terganggu akibat drainase, pembukaan lahan, atau kebakaran, permukaan tanah menjadi lebih kering dan kehilangan kapasitasnya untuk menyimpan serta menguapkan air. Hal ini menyebabkan kenaikan suhu lokal, memperpanjang musim kering, dan meningkatkan kerentanan terhadap kebakaran lahan yang lebih intens dan sulit dikendalikan. Penurunan muka air tanah juga mempercepat dekomposisi bahan organik dan memperburuk siklus umpan balik iklim yang merugikan (Taufik et al., 2022; Speranskaya et al., 2024).
Restorasi ekosistem gambut merupakan strategi mitigasi perubahan iklim yang sangat efektif karena mampu mengembalikan fungsi alami gambut sebagai penyerap karbon aktif (carbon sink). Dua pendekatan utama dalam restorasi adalah rewetting dan revegetasi. Rewetting dilakukan dengan cara menyumbat kanal-kanal drainase untuk menaikkan kembali muka air tanah, sehingga kondisi anaerobik (minim oksigen) dapat dipulihkan. Kondisi ini memperlambat dekomposisi bahan organik dan secara signifikan menurunkan emisi karbon dioksida (CO₂).
Sementara itu, revegetasi melibatkan penanaman kembali spesies tumbuhan khas gambut seperti jelutung (Dyera spp.), gelam (Melaleuca spp.), dan rumbia (Metroxylon spp.) yang tidak hanya membantu menstabilkan tanah, tetapi juga memperkuat siklus karbon dan air di ekosistem tersebut. Studi oleh Hooijer et al. (2010) menunjukkan bahwa restorasi gambut melalui rewetting dapat mengurangi emisi karbon lebih dari 90% dalam jangka panjang, menjadikannya salah satu intervensi berbasis alam paling efisien untuk mitigasi iklim.
Dalam komitmennya terhadap Paris Agreement, Indonesia menempatkan sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (Forest and Other Land Uses atau FOLU) sebagai tulang punggung mitigasi perubahan iklim nasional. Salah satu target utamanya adalah menjadikan sektor ini sebagai penyerap karbon bersih (Net Sink) sebesar –140 juta ton CO₂ ekuivalen pada tahun 2030, dengan restorasi 2 juta hektar lahan gambut sebagai komponen penting dalam pencapaiannya. Upaya ini dikoordinasikan oleh beberapa lembaga utama, di antaranya BRGM (Badan Restorasi Gambut dan Mangrove) yang bertugas merehabilitasi lahan gambut terdegradasi melalui strategi 3R: rewetting (pembasahan kembali), revegetasi, dan revitalisasi ekonomi masyarakat.
Hingga akhir 2024, BRGM telah merehabilitasi lebih dari 1,6 juta hektar lahan gambut dan membangun ribuan infrastruktur pembasahan. Sementara itu, KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) memainkan peran regulatif dan teknis, termasuk dalam pemantauan emisi dari sektor LULUCF serta integrasi restorasi dalam kebijakan NDC nasional. Untuk mendukung transparansi dan efektivitas, pemerintah mengembangkan sistem digital seperti PRIMS (Peatland Restoration Information and Monitoring System) guna memantau progres restorasi secara spasial dan real-time, serta RePeat (Restoration Performance Assessment Tool) yang digunakan untuk menilai keberhasilan restorasi secara ilmiah melalui parameter biofisik. Kolaborasi antar lembaga dan pendekatan berbasis data ini memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang proaktif dalam aksi iklim berbasis alam (nature-based solutions), khususnya melalui perlindungan dan restorasi ekosistem gambut.
IUCN. (n.d.). Peatlands and climate change. Retrieved July 9, 2025, from https://iucn.org/resources/issues-brief/peatlands-and-climate-change
Strack, M., Davidson, S. J., Hirano, T., & Dunn, C. (2022). The potential of peatlands as nature-based climate solutions. Current Climate Change Reports, 8, 71–82. https://doi.org/10.1007/s40641-022-00183-9
YKAN. (2024). Peatland conservation. Retrieved from https://www.ykan.or.id/en/program/terrestrial-program/peatland-conservation/
Leifeld, J., & Menichetti, L. (2018). The underappreciated potential of peatlands in global climate change mitigation strategies. Nature Communications, 9(1), 1071. https://doi.org/10.1038/s41467-018-03406-6
Page, S. E., Siegert, F., Rieley, J. O., Boehm, H. D. V., Jaya, A., & Limin, S. (2002). The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature, 420(6911), 61–65. https://doi.org/10.1038/nature01131
CIFOR-ICRAF. (2024). ASEAN’s regional efforts to combat peatland degradation in Southeast Asia. Retrieved from https://www.cifor-icraf.org/publications/pdf/factsheets/9361-MAHFSA-Factsheet.pdf
Ludang, Y., Jaya, A., & Inoue, T. (2007). Microclimate conditions of the developed peatland in Central Kalimantan. Journal of Applied Sciences, 7(18), 2604–2609. https://doi.org/10.3923/jas.2007.2604.2609
Słowińska, S., Słowiński, M., Marcisz, K., & Lamentowicz, M. (2022). Long-term microclimate study of a peatland in Central Europe to understand microrefugia. International Journal of Biometeorology, 66, 817–832. https://doi.org/10.1007/s00484-022-02240-2
Speranskaya, L., Campbell, D. I., Lafleur, P. M., & Humphreys, E. R. (2024). Peatland evaporation across hemispheres: contrasting controls and sensitivity to climate warming. Biogeosciences, 21, 1173–1195. https://doi.org/10.5194/bg-21-1173-2024
Taufik, M., Widyastuti, M. T., Sulaiman, A., & Minasny, B. (2022). An improved drought-fire assessment for managing fire risks in tropical peatlands. Agricultural and Forest Meteorology, 312, 108738. https://doi.org/10.1016/j.agrformet.2021.108738
Hooijer, A., Page, S., Canadell, J. G., Silvius, M., Kwadijk, J., Wösten, H., & Jauhiainen, J. (2010). Current and future CO₂ emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences, 7(5), 1505–1514. https://doi.org/10.5194/bg-7-1505-2010
Ramsar Convention. (2021). Global guidelines for peatland rewetting and restoration. Ramsar Technical Report No. 11. Retrieved from Ramsar website
Darusman, T., Murdiyarso, D., Impron, & Anas, I. (2023). Effect of rewetting degraded peatlands on carbon fluxes: a meta-analysis. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, 28(10). https://doi.org/10.1007/s11027-023-10046-9