Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan yang sering terjadi pada musim kering, tidak hanya lahan kering tetapi lahan gambut pun mengalami hal yang sama sehingga perlu ditanggulangi secara efektif. Fenomena ini seringkali berkaitan dengan kesengajaan pembakaran lahan untuk berladang, peremajaan rumput pakan ternak, pembakaran lahan tidur untuk tujuan kepemilikan di lahan rawa gambut dan memainkan api tanpa adanya tujuan. Saat ini kebakaran bukan hanya terjadi di kawasan hutan tetapi sebagian besar terjadi pada lahan-lahan masyarakat. Luasnya lahan-lahan tidur yang dimiliki oleh para Pengusaha dan Kelompok Masyarakat yang tidak digarap telah menjadikan tempat tersebut sebagai sumber dari api-api liar yang berasal dari pembakaran ladang dan peremajaan rumput.
Tanah gambut tergolong tanah marginal dan rentan terhadap gangguan sehingga usaha peningkatan produktivitas lahan tersebut harus diikuti usaha mencegah kerusakan ekosistem dengan biaya yang cukup besar. Kerusakan lahan gambut terutama karena penebangan pohon dan konversi hutan menjadi penggunaan lain, kebakaran dan reklamasi.1
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Restorasi adalah salah satu bentuk pemulihan fungsi lingkungan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.16/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2017 Tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut menyatakan bahwa pemulihan fungsi ekosistem gambut merupakan aktivitas yang dilakukan
untuk mengembalikan sifat dan fungsi Ekosistem Gambut sesuai atau mendekati sifat dan fungsi semula.
Ada 3 (lima) kelompok besar program dalam kebijakan restorasi gambut, yaitu :2
a. Rezoning, yaitu penetapan suatu Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) untuk direstorasi yang meliputi penyesuaian zonasi.
b. Rewetting, yaitu pembasahan lahan gambut melalui pembuatan desain sekat kanal (canal blocking) dan pembangunannya untuk secara cepat memulihkan kemampuan KHG dalam menyerap dan menyimpan air kembali.
c. Manajemen vegetasi, yang meliputi revegetasi (penanaman kembali), penyesuaian jenis, dan regenerasi alami. Tujuannya agar air gambut
Adapun peraturan Perudang-undagan yang terkait dan menjadi dasar hukum kebijakan restorasi gambut adalah :
Sebelumnya terjadi marginalisasi terhadap Desa pada masa Pemerintahan Orde Baru, Desa hanya djadikan sebagai objek pembangunan yang diatur sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Dalam hal ini, Desa tidak memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri karena setiap kebijakan dan keputusan yang diambil harus didasarkan atas perintah dari pemerintah pusat.3 Hal ini terjadi sebagai akibat dari pemberlakuan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1979 yang justru memberikan pengalaman yang buruk terhadap desa dikarenakan tunduk di bawah kekuasaan yang otoriter.4 Berdasarkan peraturan perundang-undangan ini Desa bukan merupakan daerah otonom dan bukan pula daerah administratif. Sehingga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 dianggap sebagai instrumen peraturan yang memperkuat birokratisasi, otoritarianisme, sentralisasi dan pembangunan. Undang-undang ini hadir bukan sebagai kebijakan yang memperkuat otonomi daerah atau membentuk pemerintah daerah (local government), melainkan sebagai bentuk kebijakan yang memperkuat kekuasaan pemerintah pusat di daerah (the local state government).5 Setelah kurang lebih 32 tahun, dengan adanya gerakan reformasi maka perubahan pun diadakan. Diawali dengan penambahan pasal pada UndangUndang Dasar 1945, terutama penambahan pasal yang mengatur tentang otonomi daerah. Hingga akhirnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Kedudukan Peraturan Desa pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sangat kuat, di mana desa memiliki institusi politik demokrasi yakni Badan Perwakilan Desa, yang bersama-sama dengan pemerintah desa merupakan penyelenggara Pemerintahan Desa, di mana Badan Perwakilan Desa berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa.6
Peraturan Desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa, dengan demikian maka Peraturan Desa harus merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, serta harus memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat, dalam upaya mencapai tujuan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat jangka panjang, menengah dan jangka pendek.7 Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa didalam Pasal 2 menjelaskan bahwa dalam pembentukan Peraturan Desa harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentukan yang tepat, kesesuaian antar jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, serta keterbukaan.8 Peraturan Desa, mencakup tiga bagian yaitu bagian Perencanaan, Penyusunan Peraturan Desa oleh Kepala Desa dan penyusunan Peraturan Desa oleh BPD, Pembahasan, Penetapan, Pengundangan dan Penyebarluasan. Bagian ini diatur dalam pasal 5 sampai pasal 13.9 Dalam pembuatan peraturan desa juga tidak bisa di kesampingkan partisipasi masyarakat dalam prosesnya. Menurut Tomy M Saragih bahwa partisipasi masyarakat (public Participation) pada tatanan pemerintahan yang demokratis menghendaki adanya keterlibatan publik dalam prosespengambilan keputusan (decision-making process).10 Dalam proses pembentukannya, Peraturan Desa membutuhkan partisipasi masyarakat agar hasil akhir dari Peraturan Desa dapat memenuhi aspek keberlakuan hukum dan dapat dilaksanakan sesuai tujuan pembentukannya. Partisipasi masyarakat dalam hal ini dapat berupa masukan dan sumbang pikiran dalam perumusan substansi pengaturan Peraturan Desa.11
Dasar hukum Pengintegrasian Restorasi Gambut ke dalam Perencanaan dan Penganggaran Desa adalah sebagai berikut:
1 Ari Wibowo, “Peran Lahan Gambut dalam Perubahan Iklim Global”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Kampus Balitbang Kehutanan, Vol.2 No. 2 (2009): 21.
2 Sri Nurhayati Qodriyatun, ”Kesiapan Pemerintah Daerah Provinsi Riau Dan Sumatera Selatan Dalam Pelaksanaan Kebijakan Restorasi Gambut”, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. Aspirasi Vol. 8 No. 2, (2017): 117.
3 M. Yasin al-Arif, “Mengkaji Konstruksi Politik Hukum Pengaturan Otonomi Desa Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa”. Arena Hukum, 11(1), (2018): 120
4 Ibid.
5 Ibid, hlm. 120-121.
6 Muhammad Syirazi Neyasyah, “Keberlakuan Yuridis Peraturan Desa Dalam Perspektif Asas Formal Kelembagaan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, UBELAJ, Vol 4 No. 1. (2019): 23.
7 Ika Ariani Kartini, “Tinjauan Terhadap Pelaksanaan Legal Drafting (Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan) Di Tingkat Desa Sesuai Undang Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa”, Jurnal Kosmik Hukum Vol. 18 No. 1, (2018): 8 dan lihat Pasal 4 Permendagri Nomor 111 Tahun 2014.
8 Marwanto dan Yusri Munaf, “Pembentukan Dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 (Studi Di Desa Hangtuah Kecamatan Perhentian Raja)”, Wedana. Vol. II. No.1 (2016): 210.
9 Lihat Permendagri Nomor 111 Tahun 2014.
10 Tomy M Saragih, “Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang Dan Kawasan”, Jurnal Sasi Vol. 17 No. 3. (2011): 496.
11 Kadar Pamuji dkk. Partisipasi Masyarakat Desa Dalam Penyusunan Peraturan Desa: 503