Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan hutan dan ekosistemnya. Fenomena ini seringkali terjadi karena faktor manusia, meskipun terdapat faktor alam yang menjadi unsur pendukung. Aktivitas manusia yang paling umum menjadi penyebab karhutla berupa penggunaan api pada alih guna lahan hutan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), pertanian, perkebunan sawit, dan pembalakan liar1 .
Karhutla didefinisikan sebagai fenomena pembakaran yang tidak tertahan dan menyebar secara bebas serta melahap bahan bakar yang ada di hutan. Dilihat dari bahan bakar dan penyebaran api, kebakaran digolongkan menjadi tiga tipe2 :
Kebakaran terjadi karena terpenuhinya unsur pembentuk api pada segitiga api. Komponen segitiga api antara lain: (1) oksigen, (2) bahan bakar, (3) sumber panas3 . Dalam karhutla, yang menjadi bahan bakar berupa bahan organik, seresah, dan vegetasi. Sedangkan sumber panas dapat berupa musim kemarau dan sumber api dari manusia. Api akan tetap ada dan menjalar apabila ketiga komponen tersebut masih terpenuhi.
Menurut data KLHK, dalam kurun waktu 5 tahun dari 2016 hingga 2021, luas karhutla yang terjadi di Indonesia secara total sebesar 3,4 juta Ha. Karhutla yang paling parah terjadi pada tahun 2019 dengan luas 1,65 juta Ha. Sedangkan pada tahun 2021, karhutla yang terjadi seluas 358.867 Ha yang mengalami peningkatan dari tahun 20204 . Kejadian karhutla perlu menjadi perhatian masyarakat nasional maupun internasional demi menciptakan kualitas lingkungan yang lebih baik.
Pada tahun 2015, Indonesia mengalami kebakaran besar yang lebih parah dibandingkan tahun 2019. Luas hutan dan lahan yang terbakar pada bulan Juni hingga Oktober 2015 mencapai 2,6 juta Ha yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua sebanyak 100.000 titik api. Asap kebakaran menyebar ke penjuru pulau hingga negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Hal tersebut merupakan salah satu evaluasi besar untuk Indonesia yang telah menyebabkan bencana alam dan dampaknya hingga ke negara lain. Adapun kerugian yang dialami pada karhutla tahun 2015 sebesar Rp221 triliun dan mengeluarkan emisi karbon sebanyak 11,3 juta ton setiap harinya5 .
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), selama periode Januari-Agustus 2023 indikasi luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sudah mencapai 267.935,59 hektare (ha).
Menurut Permen LHK No. P.12/Menhut-II/2009, kebakaran hutan dan lahan adalah salah satu masalah lingkungan utama yang menyebabkan permasalahan pada perekonomian, ekologi, dan sosial. Syumanda (2003) juga menyebutkan ada empat aspek yang terindikasi sebagai dampak karhutla, yang mencakup (1) sosial, ekonomi, dan budaya; (2) hubungan antar negara; (3) dampak ekologis dan lingkungan; (4) dampak perhubungan dan pariwisata6 .
Karhutla di Indonesia bukan hanya berdampak di dalam negeri. Asap kebakaran dapat terbawa angin hingga ke negara tetangga seperti yang terjadi di tahun 2015 dan 2019. Asap tebal menyelimuti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Hal tersebut dapat berpotensi menimbulkan sentimental antara pemerintah negara ataupun masyarakatnya.
Karhutla berdampak pada perhubungan dan pariwisata baik secara langsung maupun tidak. Dampak yang ditimbulkan berupa ditutupnya obyek ekowisata hutan beserta sarana pendukungnya, terganggunya transportasi khususnya transportasi udara. Hal tersebut dapat berakibat pada penurunan tingkat wisatawan secara nasional.