Table of Contents

Bincang Gambut Seri 13 : Mengenal Karakteristik Hidrologis Gambut sebagai Kunci Keberlanjutan Ekosistem Gambut

Pendahuluan

Artikel ini berisi rangkuman materi dari Webinar Bincang Gambut Seri 13 yang diselenggarakan oleh WikiGambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigWikiGambut

WikiGambut merupakan upaya bersama untuk mengumpulkan, mengkompilasi, mensintesa dan menuturkan kembali pengetahuan serta informasi tentang ekosistem gambut dan pengelolaannya kedalam satu sistem pengelolaan pengetahuan (Knowledge Management System) sehingga dapat digunakan secara luas untuk pengambilan keputus anterkait
Kalimantan Barat pada Sabtu, 12 Oktober 2024. Webinar ini mengangkat tema “Mengenal Karakteristik Hidrologis Gambut sebagai Kunci Keberlanjutan Ekosistem Gambut.”
Kegiatan ini menghadirkan dua pemateri ahli di bidangnya, yaitu Dr. Ir. Maswar, M.Sc.Agr., peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, dan Dr. Subekti Rahayu dari CIFOR-ICRAF Indonesia. Keduanya adalah pakar yang memiliki pengetahuan mendalam terkait ekosistem gambut dan hidrologi, yang membagikan wawasan penting mengenai peran hidrologi dalam menjaga keberlanjutan ekosistem gambut di Indonesia.


Tantangan dan Praktik Pengelolaan Air pada Lahan Gambut Tingkat Tapak untuk Keberlanjutan Ekosistem, belajar dari pengalaman Peat-IMPACTS Project : Dr. Subekti Rahayu

Kondisi gambut kita saat ini menunjukkan masalah serius akibat adanya drainase atau kanalisasi besar-besaran. Kanal-kanal tersebut awalnya dibuat untuk mengeringkan lahan gambut agar dapat digunakan untuk budidaya, seperti pertanian dan perkebunan, terutama dalam konteks program transmigrasi yang bertujuan untuk memperluas wilayah tanaman pangan. Namun, proses drainase ini membawa dampak negatif yang signifikan bagi ekosistem gambut. Pengeringan lahan secara terus-menerus mengakibatkan gambut menjadi sangat rentan terhadap degradasi lingkungan. Salah satu dampaknya adalah tanah yang kering, yang membuat lahan gambut kehilangan fungsinya sebagai penyerap dan penyimpan karbon alami, sekaligus meningkatkan risiko kebakaran hutan yang kerap terjadi.


Selain itu, beberapa wilayah yang tidak dimanfaatkan atau diusahakan oleh masyarakat mengalami perubahan menjadi semak belukar. Lahan-lahan ini, yang tidak dikelola secara produktif, sering kali berada dalam kondisi fluktuatif, yaitu kadang terendam air pada musim hujan dan kemudian menjadi sangat kering pada musim kemarau. Fluktuasi ini memperparah kerusakan gambut, menyebabkan tanah semakin terdegradasi dan semakin sulit untuk dipulihkan. Situasi ini juga menciptakan ketidakpastian dalam pengelolaan lahan, karena lahan tersebut tidak lagi stabil secara ekologis. Proses kanalisasi ini tidak hanya berdampak pada aspek ekologis, tetapi juga pada keberlanjutan sosial dan ekonomi, karena lahan gambut yang terdegradasi dan rusak tidak bisa lagi dimanfaatkan secara maksimal untuk kegiatan pertanian atau usaha lain. Kanalisasi yang berlebihan justru mempercepat laju degradasi lahan dan memperparah kerusakan yang terjadi, membuat ekosistem gambut menjadi semakin rentan terhadap perubahan iklim dan bencana lingkungan lainnya.


Pengelolaan air pada lahan gambut sangat penting untuk menciptakan kondisi aerobik di permukaan gambut. Hal ini bertujuan untuk menjaga lingkungan yang mendukung keberlangsungan tanaman dan mencegah kerusakan pada ekosistem gambut. Tinggi muka tanah juga harus dipertahankan agar perakaran tanaman dapat mencapai air dengan mudah, sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik. Menjaga kelembaban gambut juga sangat penting untuk memperlambat proses dekomposisi bahan organik dalam gambut. Dekomposisi yang terlalu cepat bisa menyebabkan hilangnya kandungan karbon serta meningkatkan risiko kebakaran pada lahan gambut, terutama saat musim kemarau. Dengan menjaga kelembapan yang cukup, risiko ini dapat diminimalisir. Selain itu, pengelolaan air yang baik juga dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang hidup di permukaan gambut. Aktivitas mikroorganisme ini sangat penting untuk mendukung siklus nutrisi di tanah, terutama di sekitar perakaran tanaman, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas lahan dan menjaga kesehatan ekosistem gambut.


Agrosilvofishery merupakan salah satu bentuk pendekatan terpadu dalam pengelolaan lahan gambut, yang mengombinasikan sektor pertanian (agro), kehutanan (silvo), dan perikanan (fishery) dalam satu sistem. Sistem ini dirancang untuk memaksimalkan pemanfaatan lahan gambut yang sering kali sulit diolah karena sifatnya yang basah, berfluktuasi, dan rentan terhadap degradasi. Salah satu teknik pengelolaan air yang umum digunakan dalam sistem ini adalah canal blocking, atau pemblokiran kanal. Dalam sistem agrosilvofishery ini, lahan dibagi menjadi beberapa bagian yang terdiri dari guludan (gundukan tanah) untuk menanam tanaman semusim dan buah-buahan, serta kolam untuk perikanan. Guludan-guludan tersebut membantu mengelola air secara efisien dan menciptakan area yang cocok untuk bercocok tanam, terutama bagi tanaman yang membutuhkan tanah lebih kering. Tanaman semusim seperti sayuran dapat tumbuh di guludan, sementara buah-buahan yang ditanam di lahan gambut umumnya termasuk jenis yang toleran terhadap kondisi tanah basah. Di antara guludan tersebut, kolam perikanan dibuat sebagai area yang lebih rendah, tempat air bisa ditampung untuk budidaya ikan. Kolam ini tidak hanya berfungsi sebagai sumber perikanan tetapi juga sebagai penyeimbang air di lahan, mencegah pengeringan total lahan gambut dan mendukung keberlanjutan ekosistem perairan. Ikan yang sering dibudidayakan dalam sistem ini antara lain ikan nila, lele, atau ikan-ikan lokal yang sudah adaptif terhadap kondisi lingkungan gambut. Sistem ini, yang dikenal juga dengan sistem surjan, merupakan pengelolaan lahan secara bergaris atau berbentuk baris, di mana guludan dan kolam diatur secara bergantian. Sistem surjan memberikan fleksibilitas dalam memanfaatkan lahan gambut yang sering kali memiliki karakteristik air yang tidak stabil. Dengan pendekatan ini, produktivitas lahan bisa lebih optimal, sembari menjaga kelestarian lingkungan dan meminimalkan dampak negatif dari drainase atau perubahan besar-besaran pada ekosistem gambut.


Praktik-praktik pengelolaan tata air di lahan gambut bervariasi tergantung pada skala penerapannya, baik di tingkat nasional, perusahaan, maupun petani. Secara nasional, salah satu pendekatan yang umum digunakan adalah pembangunan sekat kanal. Sekat kanal ini berfungsi untuk mengontrol aliran air agar tetap menjaga kelembaban lahan gambut, sehingga mencegah kekeringan dan degradasi lebih lanjut. Di tingkat perusahaan, terutama di sektor industri besar seperti Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit, diterapkan alat dan teknik pengelolaan gambut berkelanjutan. Hal ini meliputi desain sistem tata air, pemantauan kinerja, serta infrastruktur untuk pembasahan. Salah satu metode yang digunakan adalah pembangunan bendungan kendali air yang bertujuan untuk mempertahankan Tinggi Muka Air (TMA) pada kisaran 40-90 cm di kawasan HTI. Selain itu, pintu air juga dibangun pada kanal untuk mempertahankan TMA sesuai dengan pedoman yang direkomendasikan bagi perkebunan kelapa sawit, yang dapat mencegah penurunan tanah serta kebakaran lahan. Pada skala petani, beberapa inovasi lokal diterapkan, seperti yang dicontohkan oleh penelitian Purnamayani dan rekan-rekan pada tahun 2022. Petani membangun sistem handil, yaitu saluran yang dirancang untuk membawa air dari sungai menuju ke arah pedalaman. Sistem ini dibuat tegak lurus dari tepi sungai untuk mengairi lahan pertanian. Selain itu, petani juga menggabungkan sistem surjan dengan handil untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan basah gambut, di mana sistem ini menciptakan variasi elevasi tanah untuk menanam berbagai jenis tanaman, sekaligus mempertahankan pengelolaan air yang lebih baik.


Tantangan dalam pengelolaan tata air pada lahan gambut di tingkat tapak sangat kompleks karena ekosistem gambut merupakan satu kesatuan yang saling terhubung. Keterhubungan ini berarti bahwa perubahan atau pengelolaan di satu area akan berdampak pada area lain dalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Oleh karena itu, pengelolaan tata air di lahan gambut memerlukan pendekatan yang holistik, yang tidak hanya memperhitungkan kondisi biofisik seperti topografi dan hidrologi, tetapi juga aspek sosial dan status kepemilikan lahan. Pendekatan ini membutuhkan perencanaan yang terintegrasi dan melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat lokal, sektor swasta, dan lembaga internasional. Di Indonesia, berbagai lembaga telah melakukan praktik pengelolaan tata air gambut, banyak di antaranya bekerja sama dengan lembaga internasional. Meskipun ada berbagai inisiatif yang dijalankan, tantangannya terletak pada fakta bahwa upaya tersebut seringkali dilakukan secara terpisah-pisah di tingkat tapak, tanpa adanya koordinasi yang efektif antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Hal ini menyebabkan kesenjangan dalam pencapaian tujuan pengelolaan yang lebih luas dan terpadu. Salah satu tantangan utama dalam pengelolaan tata air gambut adalah biaya yang tinggi. Implementasi strategi pengelolaan yang tepat memerlukan investasi besar, terutama dalam pembangunan infrastruktur seperti bendungan, sekat kanal, atau sistem irigasi yang mendukung tata air. Tanpa dukungan finansial yang signifikan dari pemerintah atau sektor swasta, pengelolaan tata air yang baik sulit dilakukan, terutama di tingkat petani kecil yang memiliki sumber daya terbatas. Selain itu, pemahaman para pemangku kepentingan di tingkat tapak mengenai ekosistem gambut dan tata cara pengelolaan airnya masih terbatas. Pengetahuan yang tidak memadai ini dapat menjadi penghambat dalam implementasi praktik-praktik terbaik pengelolaan air di lahan gambut, yang pada akhirnya dapat memperburuk kondisi lahan gambut, termasuk risiko terjadinya kebakaran dan degradasi lahan yang lebih luas.


Peran Hidrologi dalam Dinamika Air dan Emisi Karbon pada Lahan Gambut Tropis : Dr. Maswar


Gambut, sebagaimana didefinisikan dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2/2009, merupakan jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik, dengan komposisi lebih dari 65%, yang terakumulasi selama ratusan tahun. Proses pembentukannya terjadi secara alami akibat lapukan vegetasi yang pertumbuhannya terhambat dalam kondisi anaerob (minim oksigen) dan basah. Kondisi ini menyebabkan bahan organik tidak mengalami dekomposisi yang sempurna, sehingga menghasilkan lapisan tanah yang kaya akan bahan organik. Istilah “gambut” memiliki sejarah panjang di Indonesia. Pada tahun 1920, lahan gambut pertama kali dibuka di Kecamatan Gambut, Kalimantan Selatan. Dari sinilah istilah “gambut” berasal dan mulai digunakan untuk menyebut jenis tanah tersebut. Penelitian awal mengenai tanah gambut di Indonesia dilakukan oleh Polak pada tahun 1933, yang mengidentifikasi keberadaan gambut di berbagai wilayah di Indonesia, mengungkap pentingnya lahan ini dalam konteks ekologi dan pertanian di nusantara.


Proses pembentukan dan perkembangan ketebalan hamparan gambut pada suatu cekungan lahan basah melibatkan tiga tahapan utama. Pertama, dimulai dengan pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah. Seiring waktu, vegetasi ini mati dan menumpuk, membentuk lapisan organik di dasar cekungan. Dalam kondisi anaerob dan basah, sisa-sisa vegetasi ini tidak terurai sepenuhnya, sehingga bahan organik terus menumpuk. Tahap kedua adalah pembentukan gambut topogen, yaitu jenis gambut yang terbentuk di daerah rendah, cekungan, atau lembah yang airnya tergenang sepanjang tahun. Di sini, proses dekomposisi organik semakin melambat karena genangan air, dan lapisan gambut mulai terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan air dan rawa. Tahap terakhir adalah terbentuknya kubah gambut, di mana gambut ombrogen berkembang di atas gambut topogen. Kubah gambut ini biasanya berada pada elevasi yang lebih tinggi dan lebih tergantung pada air hujan daripada air permukaan atau air tanah. Lapisan gambut ombrogen ini terus tumbuh ke atas dan menjadi lebih tebal, menciptakan kubah yang menampung sejumlah besar bahan organik, sehingga berfungsi sebagai penyimpan karbon dan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem lahan basah.


Gambut berfungsi sebagai cadangan air yang sangat penting, dengan kapasitas penyimpanan mencapai 0,8 hingga 0,9 m³/m³. Kemampuan ini memungkinkan gambut untuk secara efektif mengatur debit air selama perubahan musim, terutama antara musim hujan dan musim kemarau. Pada musim hujan, gambut mampu menyerap dan menyimpan kelebihan air, mencegah banjir, dan mempertahankan kelembaban di lingkungan sekitar. Dengan menyimpan air dalam jumlah besar, gambut membantu menjaga ekosistem sekitarnya tetap stabil dan produktif. Sebaliknya, pada musim kemarau, gambut berfungsi sebagai sumber pasokan air yang berharga. Ia dapat melepaskan air yang tersimpan secara bertahap, menjaga kelembaban tanah dan mendukung pertumbuhan tanaman serta kelangsungan hidup organisme lainnya. Proses ini tidak hanya membantu menjaga kesehatan ekosistem, tetapi juga mendukung keberlanjutan pertanian dan penggunaan lahan yang bergantung pada ketersediaan air yang cukup.


Gambut memiliki karakteristik hidraulik yang unik yang mempengaruhi pergerakan air di dalamnya. Daya hantar hidraulik horizontal gambut sangat cepat, memungkinkan air untuk mengalir secara mendatar dengan efisien. Hal ini berimplikasi pada pencucian unsur-unsur hara dari gambut ke saluran drainase. Proses pencucian ini dapat menyebabkan hilangnya nutrisi yang esensial bagi tanaman, yang dapat mengurangi kesuburan tanah jika tidak dikelola dengan baik. Di sisi lain, daya hantar hidraulik vertikal gambut sangat lambat, yang berarti pergerakan air ke atas dari lapisan bawah ke lapisan atas gambut tidak terjadi dengan cepat. Kondisi ini menyebabkan lapisan atas gambut sering mengalami kekeringan, meskipun lapisan bawahnya tetap basah. Kekeringan pada lapisan atas ini dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan tanaman dan kesehatan ekosistem secara keseluruhan, karena tanaman bergantung pada kelembaban yang cukup untuk bertahan hidup. Karakteristik ini menunjukkan pentingnya pengelolaan air yang cermat di lahan gambut untuk menjaga keseimbangan kelembaban, mencegah pencucian nutrisi yang berlebihan, dan mendukung keberlangsungan fungsi ekosistem gambut.


Hasil penelitian menggambarkan hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan kedalaman muka air tanah yang menunjukkan pola logaritmik. Semakin jauh jarak dari saluran drainase, kedalaman muka air tanah akan semakin dangkal, mengikuti pola logaritmik. Pola logaritmik ini menunjukkan bahwa perubahan kedalaman muka air tanah tidak bersifat linear. Artinya, untuk jarak yang lebih jauh dari saluran drainase, perubahan kedalaman muka air tanah terjadi secara bertahap dan tidak secepat pada jarak yang lebih dekat. Pada jarak dekat, perubahan kedalaman muka air tanah cenderung lebih signifikan, sedangkan pada jarak yang lebih jauh, perubahan tersebut cenderung lebih lambat. Konsep ini penting dalam pengelolaan lahan gambut, terutama untuk memahami bagaimana saluran drainase mempengaruhi distribusi air tanah di lahan gambut. Pengelolaan yang baik dapat memastikan bahwa kelembapan tanah tetap terjaga, mengurangi risiko kekeringan pada area yang lebih jauh dari saluran drainase, dan mencegah dampak negatif terhadap tanaman serta ekosistem gambut secara keseluruhan.


Pembuatan drainase di lahan gambut memiliki dampak signifikan terhadap kondisi lingkungan dan keberlanjutan ekosistem. Salah satu perubahan utama yang terjadi akibat drainase adalah penurunan muka air tanah, yang mengakibatkan transisi dari kondisi anaerob (kondisi tanpa oksigen) menjadi aerob (kondisi dengan oksigen) pada lapisan dekat permukaan gambut. Perubahan ini dapat memicu berbagai proses biogeokimia yang mempengaruhi stabilitas dan kesehatan ekosistem gambut. Salah satu konsekuensi logis dari drainase adalah peningkatan kehilangan karbon dari lahan gambut. Ketika muka air tanah turun, proses dekomposisi bahan organik yang terakumulasi dalam gambut menjadi lebih cepat, menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2) ke atmosfer. Karbon yang terperangkap dalam gambut, yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan karbon, menjadi terlepas dan berkontribusi pada perubahan iklim global. Selain itu, karbon terlarut (dissolved organic carbon) yang berasal dari gambut juga ikut hanyut bersama aliran air drainase yang keluar dari lahan, menambah jumlah karbon yang hilang dari sistem. Dampak dari pembuatan drainase ini tidak hanya terbatas pada hilangnya karbon, tetapi juga dapat mengurangi kualitas air dan mengganggu keanekaragaman hayati yang bergantung pada ekosistem gambut yang sehat. Oleh karena itu, mempertahankan karbon di lahan gambut bukan hanya penting untuk mitigasi perubahan iklim, tetapi juga untuk menjaga kekayaan sumber daya alam dan potensi ekonomi negara. Selanjutnya pertanyaan tentang apakah kedalaman muka air 0,4 m pada lahan gambut yang telah didrainase dapat dicapai sepanjang tahun sangat kompleks dan tergantung pada sejumlah faktor, termasuk kondisi iklim, jenis vegetasi, sistem drainase yang diterapkan, dan karakteristik fisik lahan gambut itu sendiri. Lahan gambut memiliki kapasitas penyimpanan air yang tinggi, namun pembuatan drainase umumnya menyebabkan penurunan muka air tanah. Muka air yang lebih dalam dari 0,4 m di bawah permukaan gambut mengindikasikan bahwa ekosistem gambut tersebut berisiko mengalami kerusakan, terutama dalam konteks budidaya. Secara umum, lahan gambut yang didrainase cenderung mengalami fluktuasi muka air yang signifikan, tergantung pada musim dan curah hujan.


Pada musim hujan, kemungkinan besar muka air tanah dapat mendekati atau bahkan mencapai kedalaman 0,4 m di bawah permukaan, tetapi pada musim kemarau, terutama jika sistem drainase aktif, muka air dapat turun jauh di bawah level tersebut, menyebabkan kondisi anaerob yang tidak diinginkan dan meningkatkan risiko kebakaran serta kehilangan karbon. Oleh karena itu, menjaga kedalaman muka air tanah di atas 0,4 m secara konsisten di lahan gambut yang telah didrainase menjadi tantangan yang sulit. Hal ini memerlukan perencanaan pengelolaan air yang cermat dan adaptasi terhadap kondisi cuaca serta perubahan lingkungan yang terjadi, termasuk pemeliharaan sistem drainase dan penggunaan praktik pengelolaan air yang lebih baik, seperti pembentukan sekat kanal, pengelolaan penggunaan air, serta pengawasan yang ketat terhadap dampak dari praktik budidaya yang diterapkan.


Tinggi muka air tanah gambut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling terkait dan mempengaruhi dinamika hidrologi di ekosistem gambut. Berikut adalah penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut: Muka air di saluran drainase sangat mempengaruhi tinggi muka air tanah gambut. Saluran drainase berfungsi sebagai pengatur aliran air dalam ekosistem gambut, sehingga kedalaman dan debit air dalam saluran tersebut akan mempengaruhi tinggi muka air tanah di sekitarnya. Jika muka air di saluran drainase rendah, maka akan terjadi penurunan muka air tanah di area sekitarnya. Jarak terjauh dari saluran drainase juga berperan penting. Semakin jauh dari saluran, tekanan air yang diterima oleh tanah gambut akan semakin berkurang, menyebabkan muka air tanah menjadi lebih dangkal. Hal ini mengikuti pola distribusi tekanan hidrostatik yang berkurang seiring dengan jarak dari sumber aliran. Jarak antara saluran drainase menentukan seberapa cepat dan efisien air dapat mengalir keluar dari lahan gambut. Jarak yang terlalu besar antara saluran dapat menyebabkan akumulasi air di daerah tertentu, sedangkan jarak yang terlalu dekat dapat menyebabkan pengeringan berlebihan. Oleh karena itu, perancangan jarak saluran drainase harus mempertimbangkan karakteristik hidrologi spesifik dari lahan gambut. Hydraulic conductivity, atau daya hantar hidraulik tanah gambut, mempengaruhi seberapa cepat air dapat bergerak melalui tanah. Gambut umumnya memiliki daya hantar yang berbeda-beda tergantung pada komposisi dan kepadatan materialnya. Daya hantar yang rendah dapat memperlambat pergerakan air, mengakibatkan akumulasi air di permukaan, sedangkan daya hantar yang tinggi dapat mempercepat aliran air ke saluran drainase. Subsidence atau penurunan permukaan tanah juga merupakan faktor krusial yang memengaruhi tinggi muka air. Proses ini terjadi akibat penguraian bahan organik di dalam gambut yang dipicu oleh pengeringan. Dengan semakin dalamnya pengeringan, permukaan tanah dapat mengalami penurunan, yang pada gilirannya mempengaruhi kedalaman muka air tanah. Penurunan ini sering kali tidak dapat dipulihkan, menyebabkan hilangnya kapasitas penyimpanan air dan potensi karbon di ekosistem gambut.


Berikut beberapa sumber utama emisi gas rumah kaca yang berasal dari lahan gambut berperan signifikan dalam perubahan iklim. Perubahan penggunaan lahan adalah salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca dari lahan gambut. Ketika hutan alami atau semak-semak diubah menjadi lahan pertanian atau perkebunan, terutama untuk tanaman monokultur seperti kelapa sawit, terjadi penurunan cadangan karbon yang signifikan. Proses ini merusak struktur dan fungsi ekosistem, mengurangi kemampuan lahan untuk menyimpan karbon dalam biomassa. Akibatnya, karbon yang tersimpan di dalam tanaman dan tanah dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk karbon dioksida (CO2), serta emisi gas lainnya seperti metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Kebakaran gambut merupakan sumber emisi gas rumah kaca yang sangat signifikan dan seringkali terjadi setelah perubahan penggunaan lahan. Kebakaran di lahan gambut dapat terjadi secara alami atau dipicu oleh aktivitas manusia. Ketika gambut terbakar, karbon yang tersimpan dalam bentuk bahan organik dilepaskan ke atmosfer, terutama dalam bentuk CO2. Proses pembakaran ini dapat menyebabkan emisi yang sangat besar dalam waktu singkat, dan asap yang dihasilkan dapat mencemari udara dan berdampak pada kesehatan masyarakat. Dekomposisi bahan organik yang terdapat di dalam lahan gambut juga berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Saat kondisi anaerobik (tanpa oksigen) terjaga, proses dekomposisi menghasilkan emisi CH4, yang merupakan gas rumah kaca dengan potensi pemanasan global yang lebih tinggi dibandingkan CO2. Di sisi lain, dekomposisi yang berlangsung di lingkungan aerobik (dengan oksigen) dapat menghasilkan N2O. Kedua gas ini dapat dilepaskan ke atmosfer, terutama jika lahan tidak dikelola dengan baik. Penggunaan pupuk nitrogen di lahan gambut juga dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca, khususnya N2O. Pupuk nitrogen sering digunakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Namun, jika tidak dikelola dengan benar, pupuk tersebut dapat mengalami proses nitrifikasi dan denitrifikasi yang menghasilkan N2O. Hal ini semakin memperburuk kontribusi lahan gambut terhadap emisi gas rumah kaca. Karbon terlarut (dissolved organic carbon, DOC) yang berasal dari lahan gambut juga dapat menjadi sumber emisi gas rumah kaca. Ketika air mengalir dari lahan gambut ke perairan lainnya, karbon terlarut terbawa bersama aliran tersebut. Proses ini berkontribusi pada peningkatan kadar karbon dalam ekosistem perairan, yang dapat mengakibatkan dampak ekologis yang signifikan, seperti penurunan kualitas air dan perubahan dalam komunitas biota akuatik.


Kondisi kadar air gambut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemudahan terjadinya kebakaran. Penelitian oleh Nuria et al. (2013) menunjukkan bahwa ketika kadar air gambut berada di bawah 100% g/g, gambut berada dalam keadaan kering, yang membuatnya sangat mudah terbakar. Dalam kondisi ini, api dapat dengan mudah menyala, mengakibatkan risiko kebakaran yang tinggi. Hal ini terutama terjadi pada musim kemarau, ketika tingkat kelembaban tanah menurun. Ketika kadar air gambut berada dalam rentang 110% hingga 125% g/g, gambut masih dapat terbakar tetapi dalam bentuk yang lebih terkendali, yaitu membara. Pada kondisi ini, meskipun ada cukup kelembaban untuk mencegah kebakaran yang cepat, proses pembakaran dapat terjadi, dan lapisan gambut yang memiliki kadar air lebih tinggi bisa terpengaruh oleh panas yang dihasilkan. Dengan kata lain, meskipun gambut di area tertentu masih memiliki kelembaban, kebakaran dapat mengeringkan lapisan gambut di sekitarnya, meningkatkan risiko penyebaran api. Di sisi lain, kondisi kadar air gambut yang lebih tinggi dari 300% g/g menunjukkan bahwa gambut menjadi sulit terbakar. Observasi langsung oleh Maswar (2014) mengindikasikan bahwa pada kondisi ini, gambut memiliki cukup kelembaban untuk mencegah terjadinya kebakaran. Kelembaban yang tinggi menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk api, yang membantu menjaga keberlangsungan ekosistem gambut dan mencegah kerusakan yang lebih luas akibat kebakaran.


Aksi mitigasi di lahan gambut sangat penting untuk melindungi ekosistem ini dari kerusakan lebih lanjut dan untuk memulihkan fungsi ekologisnya. Salah satu langkah utama dalam mitigasi adalah konservasi lahan gambut alami, seperti hutan gambut, yang berfungsi sebagai penyangga bagi penyimpanan karbon dan biodiversitas. Konservasi ini melibatkan perlindungan terhadap kawasan gambut yang masih dalam kondisi baik, sehingga dapat berperan sebagai reservoir karbon dan mendukung berbagai spesies flora dan fauna. Rehabilitasi atau restorasi lahan gambut yang telah terdegradasi juga menjadi fokus utama dalam upaya mitigasi. Melalui kegiatan ini, lahan gambut yang sebelumnya rusak dapat dipulihkan kembali ke kondisi alaminya. Contoh kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan mencakup penanaman kembali vegetasi, baik itu semak belukar maupun tanaman yang memiliki potensi untuk meningkatkan stok karbon. Dengan menanam jenis tanaman yang tepat, lahan yang sebelumnya memiliki stok karbon rendah dapat dikonversi menjadi stok karbon yang tinggi, sehingga berkontribusi pada penyerapan karbon di atmosfer. Pencegahan dan pengendalian kebakaran gambut juga merupakan langkah krusial dalam mitigasi. Kebakaran di lahan gambut dapat menyebabkan emisi gas rumah kaca yang signifikan, sehingga penting untuk mengimplementasikan strategi yang efektif untuk mencegah kebakaran. Pengaturan tinggi muka air tanah merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjaga kelembaban tanah dan mencegah kondisi yang dapat memicu kebakaran. Selain itu, penggenangan lahan gambut dapat dilakukan untuk menjaga kadar air tanah tetap tinggi, sehingga mengurangi risiko kebakaran. Manajemen usahatani yang berkelanjutan juga berperan dalam mitigasi di lahan gambut. Praktik pertanian yang ramah lingkungan, termasuk penggunaan amelioran atau bahan pengubah tanah, dapat meningkatkan kualitas tanah dan mendukung pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Dengan mengoptimalkan manajemen usahatani, lahan gambut dapat tetap produktif tanpa mengorbankan fungsi ekologisnya.


Pada bagian penutup, kita harus ingat bahawa lahan gambut tropika merupakan sumber daya alam yang langka dan unik, memberikan peran yang sangat penting dalam ekosistem global. Keberadaan lahan gambut ini tidak hanya mendukung keanekaragaman hayati, tetapi juga berfungsi sebagai penyimpan karbon yang signifikan, yang dapat membantu mengurangi perubahan iklim. Oleh karena itu, konservasi atau pelestarian lahan gambut sangatlah penting demi menjaga kelestarian lingkungan, baik di tingkat lokal maupun global. Konservasi lahan gambut bertujuan untuk melindungi dan memelihara ekosistem yang sudah ada. Ini mencakup upaya untuk mencegah kerusakan lebih lanjut akibat konversi lahan untuk pertanian atau pemukiman. Dengan menjaga kelestarian lahan gambut, kita dapat memastikan bahwa fungsi ekologisnya tetap terjaga, yang pada gilirannya akan memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar. Namun, pengelolaan lahan gambut tidak hanya berfokus pada konservasi, tetapi juga perlu melibatkan aspek pengelolaan dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Dengan pengelolaan yang tepat, lahan gambut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan mengurangi kemiskinan. Misalnya, melalui pengembangan usaha berbasis komunitas yang berkelanjutan, masyarakat dapat memperoleh manfaat ekonomi dari sumber daya yang ada tanpa merusak ekosistem gambut.


Pengelolaan berkelanjutan lahan gambut juga harus diorientasikan pada praktik rendah emisi. Ini berarti bahwa setiap aktivitas yang dilakukan di lahan gambut harus mempertimbangkan dampaknya terhadap emisi gas rumah kaca. Dengan menerapkan teknik pengelolaan yang ramah lingkungan, seperti pengaturan tinggi muka air dan penggunaan metode pertanian yang tidak merusak lahan, kita dapat menjaga lahan gambut tetap produktif sambil mengurangi emisi karbon. Secara keseluruhan, upaya untuk melestarikan, mengelola, dan memanfaatkan lahan gambut tropika harus dilakukan secara sinergis. Dengan pendekatan yang terpadu, kita dapat menjaga keunikan sumber daya alam ini, sambil memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan secara bersamaan. Keberlanjutan pengelolaan lahan gambut merupakan kunci untuk mencapai kesejahteraan sosial dan lingkungan, serta menjaga kelestarian bumi untuk generasi mendatang.