This is an old revision of the document!
Hama
Hama merupakan komponen biologis yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem, terutama ketika kondisi lingkungan mengalami perubahan drastis. Di ekosistem lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut
Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm, kemunculan hama seperti serangga pemakan daun, jamur patogen, dan mikroba invasif sering kali merupakan respons ekologis terhadap gangguan habitat, seperti pengeringan, pembakaran, atau konversi lahan menjadi pertanian intensif. Gangguan ini mengubah struktur vegetasi, kelembapan tanah, dan mikroklimat, sehingga menciptakan kondisi yang mendukung proliferasi organisme pengganggu. Misalnya, jamur patogen dan mikroba oportunistik cenderung berkembang di gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… yang terdegradasi karena perubahan pH dan kadar oksigen yang memicu dekomposisi cepat bahan organik (Elliott et al., 2015; Atapattu et al., 2023). Selain itu, serangga hama seperti rayap (Coptotermes spp.) dapat menjadi ancaman serius dalam program revegetasi, karena mereka menyerang pohon-pohon muda yang ditanam untuk restorasi (Neoh et al., 2023). Studi juga menunjukkan bahwa degradasi gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… dapat meningkatkan risiko penyakit zoonotik melalui perubahan populasi vektor seperti kutu dan tikus (Gilbert, 2013).
Hama Umum di Lahan Gambut
Lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut
Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm, dengan karakteristik kelembapan tinggi dan kandungan bahan organik yang melimpah, menjadi habitat yang unik namun rentan terhadap serangan berbagai jenis hama. Salah satu hama utama adalah uret tanah, larva dari kumbang Scarabaeidae, yang hidup di dalam tanah dan memakan akar tanaman muda. Populasi uret meningkat pada tanah dengan kelembapan dan suhu yang sesuai, dan dapat menyebabkan kerusakan signifikan pada sistem perakaran tanaman pangan.
Wereng coklat (Nilaparvata lugens) merupakan hama penting pada padi di wilayah gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… pertanian. Serangga ini menyerang bagian pangkal batang dan menghisap cairan tanaman, menyebabkan gejala “hopperburn” dan penurunan hasil panen. Selain itu, wereng coklat juga menjadi vektor penyakit virus seperti Rice Ragged Stunt Virus dan Rice Grassy Stunt Virus.
Fig. 2: Wereng Coklat (//Nilaparvata lugens//)
Penggerek batang (Scirpophaga spp.), seperti Scirpophaga incertulas dan Scirpophaga innotata, menyerang batang padi dengan cara melubangi jaringan dalam batang, menyebabkan gejala “dead heart” dan “white head” yang berdampak langsung pada produktivitas tanaman. Serangan biasanya meningkat pada fase generatif tanaman padi dan dipengaruhi oleh kelembapan serta keberadaan tanaman inang alternatif.
Fig. 3: Penggerek Batang (//Scirpophaga incertulas//)
Tikus sawah (Rattus argentiventer) aktif di sistem rawa irigasi dan menjadi hama utama di ekosistem padi. Tikus ini memakan benih, batang, dan malai padi, serta berkembang biak dengan cepat di lingkungan yang menyediakan cukup makanan dan tempat berlindung. Intensitas serangan meningkat pada fase generatif padi dan dapat menyebabkan kerugian hingga 20% atau lebih.
Fig. 4: Tikus Sawah (//Rattus argentiventer//)
Jamur patogen seperti Fusarium muncul terutama pada tanah gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… yang kering atau rusak. Patogen ini menyebabkan penyakit busuk akar dan pangkal batang, serta dapat bertahan lama di dalam tanah. Kondisi tanah yang tidak stabil, seperti perubahan kelembapan ekstrem, mempercepat perkembangan patogen ini dan meningkatkan risiko penyakit tanaman.
Serta siput gondang emas (Pomacea canaliculata) menjadi ancaman serius di lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut
Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm yang tergenang. Siput ini memakan daun tanaman muda, terutama padi, dan dapat menyebabkan kegagalan persemaian. Populasinya meningkat pesat di lingkungan air yang tenang dan hangat, serta sulit dikendalikan tanpa pendekatan terpadu
Hubungan dengan Kondisi Gambut
Kondisi ekosistem gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigEkosistem Gambut
Ekosistem Gambut di Indonesia
Lahan gambut di Indonesia adalah tempat penyimpanan biodiversitas unik yang penting, mencegah intrusi air laut asin ke daerah pedalaman, dan memberikan efek pendinginan di sekitar area tersebut karena menyimpan air yang tinggi (Parish et al., 2012). Sebagian besar yang terganggu, seperti akibat kebakaran dan drainase berlebihan, secara langsung memengaruhi dinamika populasi hama. Setelah kebakaran gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany…, terjadi penurunan kualitas tanah yang mencakup hilangnya bahan organik, perubahan pH, dan rusaknya struktur mikrohabitat. Selain itu, kebakaran menyebabkan kematian massal predator alami seperti semut, laba-laba, dan serangga parasitoid yang sebelumnya berperan dalam mengendalikan populasi hama (Wasis et al., 2019).
Ketidakseimbangan ini memungkinkan hama seperti uret tanah, penggerek batang, dan tikus sawah menjadi lebih agresif dan sulit dikendalikan. Sementara itu, drainase berlebihan mengubah kondisi tanah gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… yang semula jenuh air menjadi lebih kering dan aerobik, menciptakan lingkungan yang cocok bagi spesies hama invasif seperti jamur patogen (Rhizoctonia, Fusarium) dan siput gondang emas (Pomacea canaliculata) untuk berkembang biak secara cepat (Wu et al., 2017; Dohong et al., 2018). Drainase juga memfasilitasi invasi cacing tanah asing yang mempercepat dekomposisi dan pelepasan karbon, memperburuk degradasi tanah dan memperbesar risiko gangguan ekologis lanjutan.
Dampak terhadap Ekosistem
Gangguan hama di lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut
Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm yang terdegradasi dapat menimbulkan dampak ekologis yang signifikan terhadap struktur dan fungsi ekosistem. Salah satu dampak utama adalah terhambatnya pertumbuhan tanaman budidaya seperti padi, jagung, dan sayuran, terutama akibat serangan hama akar seperti uret tanah (larva Scarabaeidae) dan penggerek batang yang merusak jaringan tanaman sejak fase awal pertumbuhan. Penurunan kualitas tanah gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany…—misalnya karena pengeringan atau kebakaran—memicu perubahan mikrohabitat yang mendukung proliferasi hama, sekaligus mengurangi efektivitas pertahanan alami tanaman (Cahya et al., 2022; Nursyamsi et al., 2016).
Selain itu, keragaman spesies lokal cenderung menurun akibat kompetisi dan predasi yang meningkat terhadap fauna kecil seperti serangga penyerbuk, amfibi, dan mikrofauna tanah. Ketidakseimbangan ini sering kali dipicu oleh hilangnya vegetasi penutup dan predator alami seperti semut, laba-laba, dan burung pemangsa kecil yang sebelumnya menjaga populasi hama tetap terkendali (Wasis et al., 2019; Sushko & Shkatulo, 2014). Dalam kondisi seperti ini, spesies invasif seperti Pomacea canaliculata (siput gondang emas) dan jamur patogen seperti Fusarium dan Rhizoctonia dapat berkembang pesat dan mendominasi komunitas biologis.
Yang paling mengkhawatirkan adalah ledakan populasi hama yang terjadi akibat minimnya pengendalian biologis. Ketika predator alami hilang dan kondisi lingkungan mendukung reproduksi hama, populasi dapat meningkat secara eksponensial, menyebabkan kerusakan tanaman yang meluas dan mengganggu siklus ekosistem secara keseluruhan (May & Hassell, 1981; Gilbert, 2013)
Pengelolaan dan Pengendalian
Strategi pengelolaan dan pengendalian hama di lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut
Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm memerlukan pendekatan terpadu yang menggabungkan prinsip ekologi, teknologi, dan partisipasi lokal. Salah satu metode yang efektif adalah pengendalian biologis, yaitu dengan memperkenalkan atau melestarikan predator alami seperti burung pemangsa, laba-laba, dan jamur antagonis (misalnya Trichoderma spp.) yang mampu menekan populasi hama secara alami tanpa merusak keseimbangan ekosistem (Hunter et al., 2025; Ghazaryan et al., 2024). Pendekatan ini tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga berkelanjutan dalam jangka panjang.
Selain itu, pengelolaan ekosistem gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigEkosistem Gambut
Ekosistem Gambut di Indonesia
Lahan gambut di Indonesia adalah tempat penyimpanan biodiversitas unik yang penting, mencegah intrusi air laut asin ke daerah pedalaman, dan memberikan efek pendinginan di sekitar area tersebut karena menyimpan air yang tinggi (Parish et al., 2012). Sebagian besar yang mempertahankan kelembapan tanah dan struktur organik yang utuh terbukti mampu menghambat perkembangan hama. Drainase berlebihan dan degradasi fisik gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… menciptakan kondisi aerobik yang mendukung proliferasi hama invasif dan patogen tanah (Word et al., 2022; Bhomia & Murdiyarso, 2021). Oleh karena itu, restorasi hidrologis seperti rewetting dan revegetasi menjadi kunci dalam menjaga fungsi ekologis gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… dan menekan tekanan hama.
Rotasi tanaman juga berperan penting dalam mengurangi kerentanan terhadap hama spesifik. Dengan mengganti jenis tanaman secara berkala, siklus hidup hama terganggu dan populasi patogen tanah seperti Fusarium dan Rhizoctonia dapat ditekan (Aslam et al., 2024; Zohry & Ouda, 2018). Rotasi yang melibatkan tanaman dari famili berbeda, seperti legum dan serealia, terbukti efektif dalam mengurangi infestasi dan meningkatkan kesehatan tanah.
Terakhir, pemantauan terpadu yang mencatat pola kemunculan hama secara musiman dan spasial sangat penting untuk deteksi dini dan respons cepat. Penggunaan sensor tanah, citra satelit, dan jaringan IoT memungkinkan pemantauan kelembapan, suhu, dan aktivitas biologis secara real-time (NatureScot, 2025; Marleny et al., 2025). Data ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi hotspot hama dan merancang intervensi yang lebih presisi dan efisien.
Pustaka
Elliott, D. R., Caporn, S. J. M., Nwaishi, F., Nilsson, R. H., & Sen, R. (2015). Bacterial and fungal communities in a degraded ombrotrophic peatland undergoing natural and managed re-vegetation. PLOS ONE, 10(5), e0124726. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0124726
Atapattu, G., Obeng, S. A., Battersby, T., Giltrap, M., & Tian, F. (2023). Effect of ‘peatland-use’ type on culturable microbial groups in Irish peatlands in the Midlands. Land, 12(8), 1614. https://doi.org/10.3390/land12081614
Neoh, K. B., Muhammad, A., Itoh, M., & Kozan, O. (2023). Termite: Friend or Foe? Conservation Values of Termites in Tropical Peat Systems. In Vulnerability and Transformation of Indonesian Peatlands (pp. 105–121). Springer. https://doi.org/10.1007/978-981-99-0906-3_6
Gilbert, L. (2013). Can restoration of afforested peatland regulate pests and disease? Journal of Applied Ecology, 50(5), 1226–1233. https://doi.org/10.1111/1365-2664.12141
Savary, S., Willocquet, L., Pethybridge, S. J., Esker, P., McRoberts, N., & Nelson, A. (2019). The global burden of pathogens and pests on major food crops. Nature Ecology & Evolution, 3, 430–439. https://doi.org/10.1038/s41559-018-0793-y
Heong, K. L., & Hardy, B. (Eds.). (2009). Planthoppers: New threats to the sustainability of intensive rice production systems in Asia. International Rice Research Institute.
https://books.irri.org/9789712202476_content.pdf
Jahn, G. C., Almazan, L. P., & Pacia, J. B. (2005). Effect of rice bug (Leptocorisa oratorius) on rice yield and quality. Crop Protection, 24(7), 673–680. https://doi.org/10.1016/j.cropro.2004.11.004
Neoh, K. B., Muhammad, A., Itoh, M., & Kozan, O. (2023). Termite: Friend or Foe? Conservation Values of Termites in Tropical Peat Systems. In Vulnerability and Transformation of Indonesian Peatlands (pp. 105–121). Springer. https://doi.org/10.1007/978-981-99-0906-3_6
Elliott, D. R., Caporn, S. J. M., Nwaishi, F., Nilsson, R. H., & Sen, R. (2015). Bacterial and fungal communities in a degraded ombrotrophic peatland undergoing natural and managed re-vegetation. PLOS ONE, 10(5), e0124726. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0124726
Atapattu, G., Obeng, S. A., Battersby, T., Giltrap, M., & Tian, F. (2023). Effect of ‘peatland-use’ type on culturable microbial groups in Irish peatlands in the Midlands. Land, 12(8), 1614. https://doi.org/10.3390/land12081614
Wasis, B., Saharjo, B. H., & Putra, E. I. (2019). Impacts of peat fire on soil flora and fauna, soil properties and environmental damage in Riau Province, Indonesia. Biodiversitas, 20(6), 1770–1775. Retrieved from http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D2006/D200639.pdf
Wu, X., Cao, R., Wei, X., Xi, X., Shi, P., Eisenhauer, N., & Sun, S. (2017). Soil drainage facilitates earthworm invasion and subsequent carbon loss from peatland soil. Journal of Applied Ecology, 54(5), 1291–1300. https://doi.org/10.1111/1365-2664.12894
Dohong, A., Abdul Aziz, A., & Dargusch, P. (2018). A review of techniques for effective tropical peatland restoration. Wetlands, 38, 275–292. https://doi.org/10.1007/s13157-018-1017-6
Cahya, M., Suwignyo, R. A., Sodikin, E., & Baral, H. (2022). Increasing rice productivity in degraded peatlands using improved planting methods and rice varieties. Biovalentia: Biological Research Journal, 8(1), 69–78. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.22894.43844
May, R. M., & Hassell, M. P. (1981). Population dynamics and biological control. Philosophical Transactions of the Royal Society B, 291(1054), 169–208. https://www.jstor.org/stable/2396691
Nursyamsi, D., Noor, M., & Maftu’ah, E. (2016). Peatland management for sustainable agriculture. In Tropical Peatland Ecosystems (pp. 493–511). Springer. https://doi.org/10.1007/978-4-431-55681-7_34
Sushko, G., & Shkatulo, P. (2014). Impact of drainage on insect biodiversity in Belarusian peat bogs. Journal of Insect Conservation, 18(3), 421–432. https://doi.org/10.1007/s10841-014-9652-3
Aslam, M. T., et al. (2024). Crop rotation enhances pest, disease, agroecosystem resilience, and sustainability in crop production. IGI Global. https://doi.org/10.4018/979-8-3693-3061-6.ch007
Bhomia, R. K., & Murdiyarso, D. (2021). Effective monitoring and management of peatland restoration. CIFOR Working Paper 270. https://doi.org/10.17528/cifor/008142
Ghazaryan, G., et al. (2024). Enhancing peatland monitoring through multisource remote sensing: optical and radar data applications. International Journal of Remote Sensing, 45(18), 6372–6394. https://doi.org/10.1080/01431161.2024.2387133
Hunter, P. D., et al. (2025). Developing a toolkit for monitoring the success of peatland restoration projects using remote sensing and wireless sensor networks. NatureScot Research Report 1362. https://www.nature.scot/doc/naturescot-research-report-1362-developing-toolkit-monitoring-success-peatland-restoration-projects
Marleny, F., et al. (2025). Intelligent monitoring system framework for peatland management in IoT-integrated precision agriculture. JOIV: International Journal on Informatics Visualization, 9(2), 650–657. https://doi.org/10.62527/joiv.9.2.2955
Word, C. S., et al. (2022). Peatland drainage alters soil structure and water retention properties: Implications for ecosystem function and management. Hydrological Processes, 36, e14533. https://doi.org/10.1002/hyp.14533
Zohry, A., & Ouda, S. (2018). Crop rotation defeats pests and weeds. In Crop Rotation (pp. 77–88). Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-030-05351-2_5