Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) menurut Permenhut No. 35 Tahun 2007 merupakan hasil hutan baik berupa hewani maupun nabati beserta produk turunannya kecuali kayu yang tumbuh dan berkembang di dalam kawasan hutan. Dalam UU No. 41 Tahun 1999, hasil hutan bukan kayu terdiri dari lingkungan hayati yang berasal dari flora dan fauna. Selain itu juga termasuk jasa lingkungan. HHBK dapat meliputi: (1) benda hayati (nabati dan hewani), (2) non hayati (konservasi dan jasa lingkungan), (3) produk turunan (melalui proses pengolahan. HHBK juga dapat berupa pemanfaatan lahan sekitar hutan dengan agroforestri. HHBK merupakan salah satu bentuk pemanfaatan hasil hutan yang memberikan keuntungan ekonomi yang lebih besar dari HHK (hasil hutan kayu) karena tidak menyebabkan kerusakan hutan dan tidak menghilangkan fungsi-fungsi hutan tersebut1 .
Jenis produk HHBK dapat digolongkan menjadi dua, yaitu goods product dan services product. Goods products berupa sebuah benda fisik yang dapat diperoleh dari hutan dan dapat dirasakan secara langsung (tangible), misalnya bambu, rotan, minyak atsiri, minyak lemak, getah resin, sutera alam, dan lak. Sedangkan services products berupa jasa lingkungan yang berasal dari hutan yang tidak dapat dirasakan secara langsung (tangible). Jasa lingkungan yang disediakan hutan antara lain: penyediaan oksigen, konservasi tanah dan air, biodiversitas jenis, suaka margasatwa, dan taman buru. Sejauh ini sudah terdapat 565 jenis HHBK dan prioritas utama terdapat pada komoditi rotan, bambu, sutera alam, madu, dan nyamplung2 .
Pengolahan HHBK terbagi menjadi tiga jenis, yaitu mekanis, termis, dan kimia. Pengolahan mekanis dilakukan dengan cara pemotongan, penggilingan, perajangan, dan pengempaan. Pengolahan secara termis dilakukan dengan penjemuran, pengukusan, pengasapan, dan penggorengan. Pengolahan secara kimia dilakukan dengan proses ekstraksi, fraksinasi, dan destilasi.
Keunggulan HHBK dibandingkan HHK
Adapun keunggulan HHBK dibandingkan HHK antara lain:
- Tidak menimbulkan kerusakan dan tidak menghilangkan fungsi asli hutan.
- Beberapa komoditi HHBK memiliki nilai ekonomi yang besar per volume, misalnya gaharu.
- Pemanfaatan HHBK dapat dilakukan secara lebih merata oleh masyarakat karena tidak memerlukan modal yang besar
- Teknologi yang digunakan lebih sederhana dan terjangkau
Pemanfaatan HHBK
Hasil hutan bukan kayu dapat dimanfaatkan oleh pemegang Izin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK). Pada hutan alam dan hutan tanaman, pemegang IUPHHBK dapat berupa perseorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN, dan BUMD. Sedangkan masyarakat adat dapat memanfaatkan HHBK pada hutan adat. Berdasarkan UU No. 41/1999 Pasal 37, hutan adat dapat dimanfaatkan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
HHBK menjadi salah satu komponen penting dalam menyokong perekonomian masyarakat. Masyarakat menjadikan sektor HHBK sebagai penghasilan sampingan bahkan sebagai sumber pendapatan utama3 . Masyarakat umumnya memanfaatkan HHBK komersial seperti rotan, getah, bambu, dan madu. Selain itu, adanya industri-industri HHBK juga dapat menambah lapangan pekerjaan untuk masyarakat.
HHBK dalam Hutan Gambut
Kerusakan hutan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… akibat pembukaan lahan dan pemungutan kayu merupakan masalah yang harus diperhatikan. Pemanfaatan HHBK dalam kawasan hutan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… merupakan sebuah solusi dalam memberikan keuntungan secara ekonomis dan ekologis bagi masyarakat sekitar hutan gambut. Dengan meningkatnya kondisi ekonomi masyarakat yang disertai dengan pemanfaatan HHBK pada hutan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany…, maka kerusakan hutan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… karena aktivitas manusia dapat dihindari.
Pemanfaatan HHBK dalam hutan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… dapat bervariasi yang disesuaikan dengan karakteristik lingkungan dan vegetasi pada wilayah setempat. Sebagai contoh pada hutan rawa gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… di Tanjung Jabung Barat, Jambi, jenis-jenis HHBK hutan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan antara lain4 :
- Jelutung rawa (Dyera polyphylla) — getah karet
- Gaharu dan gaharu buaya (Famili Thymeleaceae) — getah resin
- Gemor (Nothaphoebe coreacea) — kulit kayu
- Sundi (Payena leerii) — getah perca, buah
- Asam kandis (Garcinia parvifolia) — buah
Jenis-jenis Hasil dari HHBK
Jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang non komersil biasanya diambil secara langsung di hutan untuk konsumsi keluarga. Terdapat juga beberapa jenis yang dibudidayakan oleh masyarakat. Hasil hutan bukan kayu jenis-jenisnya adalah sebagai berikut:
1. buah-buahan
Terdapat banyak jenis buah-buahan hutan yang dikonsumsi oleh masyarakat di kawasan hutan, baik yang musiman maupun yang berbuah sepanjang tahunnya. Buah-buahan ini merupakan sumber makanan penting bagi masyarakat. sehingga sangat dinanti-nantikan oleh mereka. Musim buah adalah musim “berpesta” karena makanan berlimpah, sehingga pada zaman dahulu ada ritual yang dilakukan untuk menyambut musim buah dan saat musim buah. Ritual ini masih dipertahankan oleh kelompok masyarakat yang tinggal jauh di dalam kawasan.
Beberapa jenis buah yang ada di kawasan dan biasa dikonsumsi oleh masyarakat adalah cempedak, siuh, dekat, rambutan hutan, gitan, buntor, siabuk, kuduk kuya/kuduk biawak, tayoy, pedaro, salak hutan, nadai/rambai, pisang krayak, durian haji, tampuy kuning, tampuy nasi, tampuy rimba, lansat, tampuy tengkerawok, tupa, jengkolut, duarian daun, kasai, koncing undi/akar kuning, kotopon, kabau, jagul/benton, tampuy sibenggang, bekil, duku, harong paro, ngongorit, ranggung, ridon, tukak on, ajon dan tungau. Selain itu terdapat beberapa jenis pisang yang biasa ditanam masyarakat di ladang yaitu pisang embun, pisang susu, pisang kelembouy, pisang empang, pisang gembur, pisang bulu, dan pisang bungo. masyarakat juga mengkonsumsi jengkol dan petai.
2. Madu
Madu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang penting bagi masyarakat. Lebah dalam bahsa rimba disebut dengan sialang sehingga pohon tempat lebah bersarang disebut dengan pohon sialang. Ada beberapa jenis pohon sialang yaitu kempas, kedodong dan keruing. Jenis yang paling banyak dihinggapi lebah adalah kedondong sehingga anakan kedondong biasanya tidak ditebang agar dapat tumbuh besar dan dijadikan tempat bersarang lebah.
3. Tumbuhan obat-obatan
Tanaman obat-obatan tidak asing lagi bagi masyarakat indonesia khususnya di daerah terpencil masyarakat sering memanfaatakn tanaman obat sebagai bahan obata alami untuk menyembukan berbagai penyakit.
4. Hewan
Referensi
- Pohan, RM, Purwoko, A, Martial, T. 2014. Kontribusi hasil hutan bukan kayu dari hutan produksi terbatas bagi pendapatan rumah tangga masyarakat. Peronema Forestry Science Journal. 3(2).