Tembawang
Istilah tembawang telah banyak dibicarakan oleh para peneliti, baik peneliti asing maupun dari Indonesia sendiri. Tembawang yang merupakan sistem penggunaan lahan di masyarakat Suku Dayak, Kalimantan Barat dianggap sebagai ekosistem yang unik karena menyimpan nilai-nilai yang sangat tinggi. Tidak hanya sekedar memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, tetapi juga mengandung nilai ekonomi dan nilai moral konservasi. Tembawang atau sering disebut sebagai agroforest tembawang adalah suatu bentuk sistem penggunaan lahan yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan, mulai dari pohon-pohon besar berdiameter lebih dari 100 sentimeter hingga tumbuhan bawah sejenis rumput-rumputan. Sistem ini dikelola dengan teknik-teknik tertentu sesuai dengan kearifan lokal mereka dan mengikuti aturan-aturan sosial sehingga membentuk keanekaragaman yang kompleks menyerupai ekosistem hutan alam.
Pembentukan dan kepemilikan Agroforestri Tembawang
Di masa lalu, sebagian besar masyarakat Suku Dayak memiliki pola pemukiman berpindah-pindah mengikuti pola perpindahan ladang mereka. Di lokasi pemukiman tersebut mereka menanam berbagai jenis tanaman yang mereka anggap menjadi sumber bahan makanan, bumbubumbuan dan tanaman buah-buahan seperti durian, mangga, rambutan, manggis dan entawak. Seiring dengan berjalannya waktu, merekapun menanam tanaman karet dan tengkawang di lokasi tersebut. Namun demikian, tidak semua tumbuhan yang ada di dalam sistem agroforest tembawang adalah hasil penanaman, ada juga tumbuhan yang tumbuh secara alami dalam proses regenerasi alam seperti nyatuh, jenis-jenis rotan, tumbuhan merambat (liana), tumbuhan semak dan herba, bahkan jenis-jenis anggrekpun kebanyakan tumbuh secara alami. Dalam pengelolaannya, masyarakat adat membagi agroforest tembawang menjadi empat jenis yaitu: (1) agroforest tembawang umum yang dapat dimanfaatkan secara bersamasama bagi penduduk dalam satu desa atau lebih; (2) agroforest tembawang waris tua yang telah dimiliki antara tiga sampai enam oleh kelompok seketurunan; (3) agroforest tembawang waris muda yang dimiliki antara satu sampai dua generasi yang dimanfaatkan secara bersama-sama oleh keluarga besar dan (4) agroforest tembawang pribadi yaitu tembawang muda yang dimiliki secara perorangan.
Nilai dan Sosial Budaya
Pengelolaan agroforestri tembawang yang diatur kepemilikan dan pemanfaatannya berdasarkan kelompok-kelompok masyarakat, mulai dari pemanfaatan pribadi, keluarga inti, keluarga besar hingga ke tingkat desa mengandung nilai-nilai sosial budaya. yang sangat tinggi. Kepatuhan antar anggota masyarakatnya merupakan manifestasi dari rasa tanggung jawabnya terhadap aturan. Demikian pula, dengan perijinan penebangan pohon yang hanya diperbolehkan bilamana ada ijin dari seluruh anggota keluarga besar. Aturan-aturan ini sudah menjadi pembatas dari kerusakan dan kepunahan akibat pemanfaatan dan penebangan pohon yang tanpa memperhatikan kemampuan regenerasi dari pohon tersebut. Agroforestri tembawang yang dimiliki dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga mencapai lima atau enam generasi yang mengandung nilai luar biasa terhadap kelestarian dan keberlanjutan bagi generasinya. Penanaman dan pemeliharaan pohon berumur panjang seperti tengkawang, jelutung, nyatuh dan kemenyan merupakan pemikiran jauh ke depan, artinya tidak hanya berfikir untuk dirinya tetapi juga memikirkan generasi berikutnya. Agroforestri tembawang juga merupakan sistem yang telah dikembangkan sejak ratusan tahun lalu, sehingga merupakan bagian dari tradisi, kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Dayak.